15 Februari 2015

Memuliakan Batu

Batu lama menempati posisi penting dalam kebudayaan manusia. Bahkan, jejak manusia pada batu bisa jadi penanda evolusi kebudayaan manusia. Zaman batu adalah era tertua dalam evolusi kebudayaan manusia di bumi. Di fase awal ini, sekitar 2,6 juta tahun lampau, yang dikenal dengan nama Paleolitik atau Zaman Batu Tua, masih hidup dari berburu dan meramu. Alat pertama yang digunakan adalah palu batu dan batu serpih tajam yang ditemukan di alam.

Sekitar 10.000 tahun lalu, peradaban manusia memasuki masa Mesolitik atau Zaman Batu Pertengahan. Zaman ini ditandai dengan kemahiran membentuk batu menjadi alat bantu, misalnya untuk mata tombak dan berbagai alat lain yang bisa menopang aktivitas bercocok tanam. Kemahiran mengolah batu kian memuncak pada era Batu Muda atau Neolitik.
Di penghujung era ini, alat-alat logam, utamanya perunggu mulai ditemukan. Lahirlah Zaman Perundagian. Alat-alat dari batu mulai digantikan logam yang tebih liat dan tajam. Namun batuan tidak ditinggalkan. Bahkan fase ini melahirkan pemuliaan terhadap batuan dengan munculnya monument-monumen batu raksasa yang dikenal dengan Peradaban Megalitik atau Batu Besar.
Pada era ini, batu tidak lagi dihargai karena fungsinya sebagai alat bantu, tetapi karena nilainya sebagai penopang ritual, sarana penguburan, bahkan sampai kebudayaan melekatkan sifat-sifat keilahian dalam batuan ini. Biasanya, batu-batu besar ini diukir menjadi figur tertentu.
Di Indonesia, tradisi megalitik ini tersebar luas sebelum masa Hindu-Budha. Bahkan hingga kini, sebagaian masyarakat Nusantara masih melestarikan kebudayaan ini dalam bentuk asli, seperti Nias, Batak, Sumba dan Toraja. Beberapa sudah mengalami akulturasi dengan lapisan kebudayaan setelahnya, seperti terjadi di Bali dan Sunda.
Berakhirnya era Batu Besar tidak memutus ikatan manusia pada batuan. Era ini ditandai dengan menguatnya pemuliaan terhadap batu-batu yang dianggap unik dan langka, yang biasanya dicirikan dengan bentuka Kristal dan warna-warna menawan, mulai dari zamrud, ruby, safir hingga berlian.
Hampir setiap peradaban besar pada masa lalu memiliki jejak pemuliaan terhadap batuan ini, mulai dari Yunani hingga Mesir kuno. Tak hanya pemuliaan karena keindahan dan keunikannya, bangsa – bangsa kuno juga menganggap batu-batu ini memiliki kekuatan magis. DI Barat kepercayaan pada kekuatan batu ini bertahan hingga Abad Pertengahan  ketika rasionalisasi ilmu mereka menyingkap mekanisme pembentukannya di alam dan upaya peniruannya di laboratorium mulai dilakukan.
Dari aspek geologis, pembentukan batuan mulia ini memang tak berbeda dengan mineral alam lain, misalnya melalui diferensiasi magma, metamorfosa, atau sedimentasi. Namun, dari sekitar 3000 jenis mineral di Bumi, hanya terdapay 200an yang termasuk jenis batuan mulia, yang menempatkan batuan ini dalam jajaran elit.
Beberapa di anatara jajaran mineral ini, intan adalah yang paling elit. Paling langka dan keras di antara semua jenis batuan ala,. Dalam jajaran batu mulia, skala kekerasan intan mencapai 10 mohs, disusul batuan safir dan rubi (merah delima) mencapai 9 mohs, zamrud 7-8 mohs. Batuan akik yang digolongkan batuan setengah mulia memiliki kekerasan kurang dari 7 mohs
Jadi awalnya, orang memburu dan memuliakan batuan ini karena keindahan dan kelangkaannya. Siapa memilikinya seolah ada dalam jajaran elit, seperti dipraktikan raja-raja masa lampau yang berlomba menyematkan batu mulia dalam mahkota.

Hingga kini, sekalipun Kristal buatan dengan keindahan nyaris menyerupai buatan alam berhasil diciptakan, perburuan batuan mulia buatan alam tak berhenti. Pemulian batu-batuan alam ini tak hanya persoalan pemenuhan akan keindahan, tetapi juga memenuhi kerindukan pada jejak awal evolusi peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...