5 Juli 2014

Hukum Mengonsumsi Obat Yang Mengandung Alkohol

Penggunaan obat-obatan yang mengandung alkohol masih banyak diperbincangkan tentang status halal-haramnya. Hal ini dipicu oleh anggapan bahwa alcohol sama dengan khamr. Padahal, kenyataanya ada beberapa perbedaan. Yang jelas, alkohol bukan satu-satunya zat yang memabukkan. Ada banyak zat yang juga bisa memabukkan.




Dalam dunia medis, alkohol digunakan sebagai antiseptik. Bahkan alkohol merupakan jenis antiseptik yang cukup berpotensi. Cara kerjanya, alkohol menggumpalkan protein, struktur penting sel yang ada pada kuman, sehingga kuman mati. Begitu juga Povidon Iodin (betadin) yang kadang dicampur dengan larutan alcohol, biasanya digunakan untuk pembersih kulit sebelum tindakan operasi. Selain itu, alcohol sering digunakan juga sebagai obat kompres penurun panas atau campuran obat batuk.
Pada dasarnya segala bentuk pengobatan dibolehkan, kecuali jika mengandung hal-hal yang najis yang diharamkan syariah. Untuk obat-obatan yang mengandung alkohol, selama kandungannya tidak banyak serta tidak memabukkan, maka hukumnya boleh. Adapun dasar dari penetapan hukum ini adalah sebagai berikut :
Pertama, bahwa yang menjadi ‘illah (alasan) pengharaman khamr adalah karena memabukkan. Jika faktor ini hilang, haramnya pun hilang. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
“Hukum itu mengikuti keberadaan “illah (alasannya). Jika ada ‘illahnya hukum itu ada. Jika ‘illah tidak ada maka hukumnyapun tidak ada.”
Kedua, senyawa alkohol dalam obat tersebut sudah hancur menjadi satu dengan materi lain, sehingga ciri fisiknya menjadi hilang secara nyata. Para ulama menyebutnya dengan istilah istihlak, yaitu bercampurnya benda najis atau haram dengan benda lainnya yang suci atau halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda najis tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda :
Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Darutquni, Darimi, Hakim dan Baihaqi)
Hal ini sama dengan setetes air kencing yang masuk ke dalam air yang sangat banyak, air itu tetap suci dan mensucikan selama tidak ada pengaruh dari kencing tersebut.
Ketiga, dalam satu hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikit darinya dinilai haram.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Maksud dari hadits tersebut adalah apabila sesuatu yang jika diminum dalam jumlah banyak bisa memabukkan, maka sesuatu tersebut haram walaupun dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit. Seperti Khamr jika diminum dalam jumlah yang banyak akan memabukkan, maka setetes khamr murni (tanpa campuran) diharamkan untuk diminum, walaupun jumlahnya sedikit dan tidak  memabukkan.
Lain halnya dengan air dalam suatu bejana diberi setetes khamr yang tidak mempengaruhi air tersebut, baik dari segi warna, rasa, maupun sifat, dan dia tidak memabukkan, maka minum air yang ada campuran setetes khamr itu dibolehkan.
Keempat, bahwa alkohol tidaklah identik dengan khamr. Tidak setiap khamr itu alkohol, karenan ada zat-zat lain yang memabukkan selain alkohol. Begitu juga sebaliknya tidaklah setiap alkohol itu khamr. Menurut sebagian kalangan bahwa jenis alkohol yang bisa memabukkan adalah jenis etil alkohol atau etanol.
Kelima, menurut sebagian ulama bahwa khamr tidaklah najis secara lahir, tetapi najis secara maknawi, artinya bukanlah termasuk benda najis, seperti benda-benda lainnya secara umum. Sehingga alkohol boleh dipakai untuk pengobatan luar.
Keenam, sutau minuman atau makanan tersebut dikatakan memabukkan jika memenuhi dua kriteria. Kriteria pertama adalah makanan atau minuman tersebut menghilangkan atau menutupi akal. Kriteria kedua yang meminum atau yang memakannya merasakan “nikmat” ketika mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut, bahkan sangat menikmatinya serta merasakan senang dan gembira yang tiada taranya. Banyak orang sering menyebutnya ”fly” , seakan-akan dia sedang terbang jauh di angkasa luar, makanya kegembiraan akibat mabuk ini tidak terkontrol. Dan sering kita dapatkan orang yang mabuk, tidak karuan ketika berbicara, dan dia sendiri tidak menyadari apa yang dia katakana. Hal ini bisa kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu orang yang sangat gembira, kadang hilang kontrolnya, sehingga berbicara dengan hal-hal yang mungkin kalau dia sadar tentu tidak akan mengatakannya.
Adapun obat bius tidaklah demikian, karena yang memakainya tidaklah menikmatinya dan tidak merasakan senang dengan obat bius tersebut. Demikian juga obat bius ini menjadikan orang tidak sadar alias pingsan. Kalau khamr yang memabukkan tidaklah menjadikannya pingsan tapi justru dia menikmatinya, sehingga menjadikannya terus menerus ketagihan terhadap minuman tersebut. (Syekh Utsaimin, Syarhu Bulughul Maram, Kairo, Dar Ibnu al Jauzi, 2008, hlm : 300).
Fenomena ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah SAW ketika menceritakan sesorang yang karena terlalu senangnya ketika dia menemukan kuda dan seluruh bekalnya sehingga dia mengucapkan secara salah :
“Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.” (HR Bukhari  dan Muslim)
Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa alkohol yang digunakan untuk obat-obatan yang jika dipakai untuk obat luar, maka hukumnya boleh selama hal itu membawa manfaat bagi yang berobat, dan menurut sebagian ulama bahwa alkohol tidaklah najis.
Adapun jika dipakai untuk obat dalam dan dikonsumsi (dimakan atau diminum), maka hukumnya dirinci terlebih dahulu : jika obat tersebut diminum dalam jumlah yang banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram mengkonsumsi obat yang mengandung alkohol tersebut, tetapi jika tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Walaupun demikian dianjurkan setiap muslim untuk menghindari obat-obat yang beralkohol, karena berpengaruh buruk untuk kesehatan. Wallahu A’lam.

(Disadur  dan diolah dari Tulisan Ahmad An Najah, MA)



Gambar diambil dari http://stat.ks.kidsklik.com/ statics/files/2011/03/ 13007225681839282022_300x311. 72413793103.jpg

4 Juli 2014

Merawat Malu Menjaga Iman

“Manusia hidup dengan malu dan kebaikan bagai dahan yang montok sepanjang punya kulit. Tidak, demi Alloh, tak ada kebaikan dalam hidup apabila hilang rasa malu dari dunia”
Demikian ungkapan seorang penyair Arab, Abu Tamam, mengenai keharusan merawat sifat malu di dalam dada manusia. Kecakapan seseorang mempertahankan rasa malu, mengindikasikan keunggulan iman melawan nafsu durjana. Sedangkan kerapuhan iman akan tampak pada tercabutnya sifat malu dari pribadi seseorang.


Malu, dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-haya yang berakar dari kata al-hayat, artinya hidup. Al-haya ini juga bisa digunakan untuk arti hujan yang turun, kerena dengan hujan akan terjadi kehidupan atau kesuburan pada tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang. Orang yang memiliki sifat malu dianggap memiliki hidup dan kehidupan, adapun menusia yang kehilangan sifat malu seolah-olah ia tidak hidup atau mayat walaupun bernyawa dan bergerak.
Di antara perbedaan asasi antara manusia dan binatan, selain terletak pada kemampuan akalnya, juga terletak pada kepemilikan rasa malu. Seekor binatang seperti kuda contohnya, berlari-lari dengan tubuh telanjang menarik delman yang dipenuhi muatan, di sepanjang jalan. Sesekali kencing atau berak. Tapi karena tidak dibekali sifat malu, kita tidak akan melihat mimik memerah pada muka sang kuda. Namun sekali lagi, itu lumarah dan wajar bila terjadi di dunia binatang. Perbedaan manusia dan binatang ini harus tetap dijaga dan dipertahankan agar manusia tidak kehilangan identitas sebagai makhluk yang beretika. Tatkala pola-pola perilaku binatang telah diikuti dan dicontoh bangsa manusia, maka hakikatnya manusia telah mengalami kemerosotan moral yang mengkhawatirkan. Untuk itu, para nabi dan rasul terdahulu mengingatkan umatnya agar senantiasa  merawat dan memupuk rasa malu
Sebenarnya rasa malu merupakan sesuatu yang inheren (melekat) pada diri manusia normal tanpa kecuali. Namun demikian rasa malu ini bisa terkikis sedikit demi sedikit sehingga pada gilirannya hilanglah rasa malu tersebut.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan bahwa seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malu tak ubahnya seonggok daging dan darah yang tidak mempunyai kebaikan apapun. Oleh karenanya, secara mutlak seluruh kaum muslimin harus dengan serius merawat dan memupuk rasa malu kepada Allah dalam setiap gerak langkahnya. Sekurang-kurangnya, ada dua strategi yang bisa digunakan untuk merawat sifat malu ini.
Pertama, menumbuhkan sifat ihsan. Ihsan adalah kesadaran jiwa bahwa Allah terus menerus melihat, mengawasi dan mengetahu setiap aktifitasnya baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Seorang muhsin (orang yang berlaku ihsan) merasakan betul sifat Allah sebagai Al-Bashir dan Al-‘Alim, sehingga tidak akan merasa tenteram mengerjakan suatu dosa walaupun sebesar biji dzarrah. Rasulullah menjelaskan sifat ihsan sebagai berikut :
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkai tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah Maha melihatmu.”
Sikap ihsan inilah yang menyelematkan  Yusuf ‘alaihis salam dari syahwat yang ditiupkan iblis saat dipaksa Siti Zulaikha melakukan perbuatan zina dirumah yang sunyi sepi. Saat itu Zulaikha mengambil sehelai kain dan menggunakannya untuk menutupi patung yang terdapat di kamar karena merasa malu, maka Yusuf pun berkata,
“bagaimana engkau ini, engkau merasa malu oleh benda padat yang buta dan tuli. Tetapi mengapa engkau tidak malu kepada pengawasan Allah yang Maha Melihat?”.
Sejujurnya sebagai laki-laki normal, Yusuf menyukai Zulaikha, tetapi sikap ihsan yang tertanam di sanubarinya telah mampu mencegahnya dari suatu perbuatan yang sangat dimurkai Allah.
Kedua, meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Hilangnya rasa malu dalam diri seseorang tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba, tetapi melalui tahapan dan proses yang bisa jadi memakan waktu sangat lama. Barangkali saat pertama kali seseorang melakukan suatu dosa, walaupun  bukan kategori dosa besar, tapi ia sangat malu, merasa tidak nyaman, dan ketakutan yang membuat keringat bercucuran. Namun bila perilaku dosa itu dikerjakan secara terus menerus dan berulang-ulang, maka bertahap, pelan tapi pasti ia akan menikmati, merasa nyaman dan menganggap wajar dosa tersebut. Jadilah ia seorang yang binasa.
Rasulullah SAW bersabda;
“Sesungguhnya Allah jika hendak membinasakan seseorang, dicabutlah dari orang tersebut rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)
Kaum muslimin bisa bercermin pada keluhuran akhlak orang-orang shaleh terdahulu. Mereka berupaya sekuat tenaga menjauhi dosa-dosa, tapi tetap mempunyai rasa malu yang luar biasa sehingga merasa paling hina serta paling banyak dosanya dihadapan rekan-rekan lainnya.

Kepekaan orang-orang shaleh terdahulu terhadap dosa memang logis, karena dosa yang dikerjakannya hamper tidak ada, sehingga apabila faktor ketidaksengajaan, akhirnya mereka terjerembab ke dalam dosa, mereka sangat merasakan sakitnya. Sebagaimana Sa’id bin Zubair menuturkan; “Orang yang luka karena dosa, bila ia teringat akan dosanya, maka ia memandang kecil amal yang telah diperbuatnya.” Sedangkan di pendosa, ia ibarat mayat atau bangkai, walaupun tubuhnya banyak luka yang menganga, tetap tidak merasakan pedihnya. Wallahu A’lam



Gambar diambil dari : http://www.preciouslife.gr/wp-content/uploads/2014/02/tutup-muka.jpg

3 Juli 2014

Menyoal Bid'ah Hasanah Sholat Tarawih

Reaksi spontan ketika kita ingatkan tentang larangan bid’ah, orang yang menyukai bid’ah akan berkata, “Yang dilarang itu bid’ah yang buruk, bid’ah yang baik tidak apa-apa”. Padahal Nabi Muhammad tidak pernah memperkenalkan pembagian dua bid’ah itu. Bahkan secara tegas hadits Nabi menunjukan kesesatan bid’ah secara mutlak. Beliau bersabda,
“…karena sesunggunya, setiap bid’ah itu sesat.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud)
Ibnu Hajar al Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak. Hal yang senada dikatakan oleh syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, “kata ‘setiap bid’ah’ mengandung pengertian yang bersifat umum dan mutlak, karena diperkokoh dengan kata yang menunjukan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat , yakni ‘setiap’.” Beliau juga menegaskan, “Maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid’ah hasanah, hendaklah dijawab dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah, maka taka da sedikitpun peluang bagi para ahlul bid’ah untuk menanggapi bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.”
Untuk itu, kalau mau membagi bid’ah menjadi dua, baik dan buruk, mestinya kata sesat juga dibagi dua, sesat baik dan sesat buruk. Tapi adakah sesat yang baik?


Adanya bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khatab r.a. yang mengatakan tentang sholat tarawih. “Ni’matul bid’ah hadzihi”, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Hal ini terbantah dengan berbagai sisi;
Pertama, kalaupun maksud perkataan Umar adalah seperti yang mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas r.a. bahkan pernah berkata , “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku katakan Rasulullah bersabda, kalian menyanggahnya dengan Abu Bakar berkata, Umar berkata.”
Kedua, yang dimaksud oleh Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, buka bid’ah secara syar’i. Seperti yang dikatakan Ibnu Katsier, “Kadang bid’ah disebut dalam pengertian bahasa, sebagaimana perkataan amirul mukminin Umar bin Khatab ketika mengumpulkan orang untuk shalat tarawih, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Ketiga, shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i. Karena amalan itu ada contohnya dari Nabi. Dalilnya adalah riwayat Aisyiah r.a. bahwa suatu malam Rasulullah SAW shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, maka banyak orang menjadi makmumnya, lalu mereka berkumpul pada hari ketiga dan keempat, tapi Rasulullah SAW tidak ke masjid. Ketika datang pagi, beliau bersabda, “sungguh aku tahu apa yang kalian perbuat semalam, dan tak ada yang mengahalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena khawatir jika shalat jamaah tarawih itu menjadi wajib atas kalian.”

Rasulullah SAW telah menjelaskan sebab beliau meninggalkan jamaah tarawih. Tatkala Umar melihat bahwa sebab yang menghalangi itu sudah tiada, maka Umar menghidupkan sunnah itu kembali. Berbeda dengan orang-orang yang mengamalkan amalan-amalan baru lalu dengan modal niat baik atau tata cara yang kelihatanya baik lalu menganggap telah menghidupkan sunnah sebagaimana Umar. Wallahu A’lam.

Gambar diambil dari : http://4.bp.blogspot.com/-I2oVQXdP4oY/ UdJ5lGRuZSI/AAAAAAAAFVs/ 4ECwGRHzzR8/s360/ribuan-umat-muslim-melaksanakan-shalat-tarawih-di-masjid-islamic-_110810213508-701.jpg

Menghindari Kata Tabu

Dalam rapat kerja para guru besar UI untuk menyusun pedoman dasar dalam pengusulan guru besar, berulang kali terucap kata butuh atau berbagai bentuknya : kebutuhan, dibutuhkan, membutuhkan. Namun, setiap kali pula muncul keberatan dari mereka yang merasa berasal dari lingkungan budaya Melayu karena kata itu dalam bahasa pertama mereka memiliki pengertian yang dianggap kurang sopan. Ternyata memang dalam berbagai bahasa Melayu kata butuh bermakna “kemaluan laki-laki”. Padahal, di daerah Purworejo, Jawa Tengah, ada kecamatan bernama Butuh!


Hingga saat ini keberatan atas pemakaian kata butuh itulah yang paling banyak diperhatikan. Artinya, walaupun kadang-kadang disertai dengan senyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak, penghindaran kata itu cukup berhasil. Demikian Juga dalam rapat kerja itu. Akhirnya disepakati yang digunakan adalah kata keperluan yang menurut riwayatnya merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Upaya menghindari pemakaian kata atau istilah yang konotasinya kurang baik, apalagi yang langsung terasa jorang “porno”,merupakan sesuatu yang terpuji. Namun, masalahnya, apakah itu senantiasa dilakukan mengingat banyaknya bahasa di Indonesia. Jika ada kata yang dalam bahasa tertentu berkonotasi baik, apakah ada jaminan dalam bahasa lain juga sama? Kata butuh yang di Jawa sampai menjadi nama kecamatan merupakan contohnya.
Pernah seseorang kawan ketika berceramah di pedalaman Kalimantan Selatan disambut senyuman yang kemudian pecah dalam derai tawa. Ia berbicara mengenai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Petani tentu tidak dapat melepaskan diri dari salah satu alat utamanya, pacul.  Sebagai orang Sunda, kebetulan ketika itu ia lupa bahwa dalam bahasa Indonesia alat itu disebut cangkul. Ternyata reaksi spontan yang diterimanya mula-mula senyuman, lalu derai tawa dan teriakan, “betul, Pak, pacul memang alat utama kita…!”
Di samping gembira karena ceramahnya ditanggapi dengan antusias, kawan itu terheran-heran mengapa tanggapan mereka demikian meriah. Ia kemudian bertanya kepada anggota penitia yang orang Banjar. Kawan itu akhirnya juga tergelak setelah diberi tahu bahwa kata pacul yang dalam bahasa setempat berarti “kemaluan laki-laki”. Maka, kata pacul  yang dalam bahasa Sunda bermakna baik-baik saja itu harus dihindarkan pemakaiannya di lingkungan penutur bahasa di Kalimantan Selatan.
Kita perlu bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapapun gembiranya, tidak akan mau bertempik sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya kata tempik  dalam bahasa Jawa bermakna “kemaluan perempuan”. Artinya, kita boleh saja bertempik sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa. Padahal, kata tempik  dalam bahasa Melayu berarti “sorak”, dan tempik sorak  semacam kata majemuk yang berarti “bersorak-sorak” atau “bersorak-sorai”.
Ketika seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut dengan momok, hadirat pun senyum dikulum, lalu cekikikan. Sambil berbisik diantara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam Bahasa Jawa sebagai "hantu” itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa Jawa, yaitu “kemaluan perempuan”.
Maka, ketika seseorang yang berasal dari Garut dalam lama mengembara di Jakarta pulang kampong lalu memancing bersama dengan (calon) mertua, kata yang keluar untuk mengatakan kegembiraan adalah mek yang ia peroleh selama di rantau. Ketika kailnya disanggut lele, ia berseru, “Lele, mek…!” Juga demikian ketika termakan kailnya ikan bogo “gabus” atau juga kancra “ikan emas”, ia berseru “Bogo, mek…!” atau “Kancra, mek…!” Namun, ketika makan umpannya seekor gurame, teriakannya berubah menjadi, “Guramey, euy..!” 

Gambar diambil dari : http://1.bp.blogspot.com/-WugTSWsc92I/TbY-XqXIfjI/AAAAAAAAAAQ/ DE9f8G_AO1s/ s1600/diam.jpg