26 Juli 2016

Belajar Dari Brexit

Dunia kini berada dalam keadaan resesi berkepanjangan. Kemerosotan ekonomi global yang teramat kejam telah membawa sejumlah negeri dalam kebangkrutan. Tengok Angola, baru beberapa bulan dinobatkan sebagai “fail state” karena tak sanggup menanggung hutang luar negeri. Setali tiga uang dengan Yunani, tunggakan kredit yang mencapai lima ribu trilyun, itu nolnya kalo tidak salah ada lima belas, terpaksa mengemis belas kasihan kepada negara regional yang menopang kawasan perenonomian mata uang Euro, macam Jerman dan Inggris. Kejam bener ancaman resesi ini, lebih kejam kurasa daripada penolakan calon mertua.


Fenomena Brexit (British Exit) yang mengemuka beberapa bulan lalu merupakan reaksi keras bangsa Britania atas masalah resesi global yang menyeret kawasan Euro kedalam jurang kebangkrutan. Sejarah kerjasama kawasan Uni Eropa yang dimulai 40 tahun lalu itu nampaknya kini tak harmonis lagi. Masalah terbesar adalah karena Inggris terlalu menjadi tumpuan. Tengok saja, Inggris menjadi penyandang dana terbesar kawasan hingga mencapi hampir 30 % yang hanya selisih 1 digit dengan Jerman. Masalah terbesar kawasan ini adalah bangkrutnya Yunani dalam menyebabkan Inggris menjadi tumbal karena harus ikut menanggung dampak yang ditimbulkan Yunani.
Faktor lain yang membuat Inggris galau adalah banyaknya imigran yang mencapai 100 ribu orang pertahun masuk ke Inggris dari negara Uni Eropa, sebagai akibat kesepakatan kawasan bahwa setiap warga Uni Eropa bebas keluar masuk dan bekerja di semua negara anggotanya. Tentu masalah ini sangatlah pelik, membuat warga Inggris sendiri harus bersaing dengan imigran, sehingga ex officio pengangguran meningkat dan gejolak sosial bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Hal inilah yang memaksa Inggris menyelematkan dan mengamankan hajat hidup rakyatnya, pilihan berat harus diambil meskipun tak sedikit yang menolak. Tak  ada mufakat, voting pun diangkat. Semua pihak berusaha mengkapanyekan ide “in” or “out” dari Uni eropa. Jajak pendapat semua rakyat menjadi mutlak, dan ini menjadikan kursi perdana menteri menjadi panas, David Cameron harus rela terdepak jika “Brexit” berhasil di gol-kan kaum oposan yang dipimpin Theresa May.
Bukan tak berfikir keras juga sebetulnya kaum oposan ketika mengajukan Brexit keparlemen Inggris. Bagaikan makan buah simalakama, mudharat yang ditimbulkan ketika Inggris keluar dari Uni eropa juga sama besar jika tetap bertahan di dalamnya. Mata uang Poundsterling bakalan terjun bebas nilainya yang pasti berdampak pada bursa efek Inggris. Selain itu, sebagai penanam modal terbesar, Inggris harus kehilangan banyak investasi, kehilangan banyak hak dan keistimewaan dalam perdagangan regional yang sebelumnya mereka dapatkan. Namun apa boleh buat, kepentingan nasional menjadi prioritas. Hajat hidup rakyat Inggris harus diutamakan, tiada yang lain.
Ketika jajak pendapat diumumkan, ternyata sebagian besar rakyat Inggris yaitu sekitar 61% memilih memisahkan diri dari Uni Eropa. Sejarah baru telah dituliskan, salah satu pendiri dan pemrakarsa Uni Eropa harus menjadi yang yang pertama meninggalkan apa yang dulu dirintisnya, menjadikan negara itu kini sendirian di Eropa Barat. Terpisah seperti fitrahnya, terpisah dari Eropa daratan.
Beberapa pelajaran penting dari kasus Brexit untuk politik Indonesia. Pertama, meskipun secara ekonomi menguntungkan pemerintahan, namun kepentingan nasional menjadi prioritas, hajat hidup rakyat adalah hal utama yang harus dikedepankan. Bagaimana dampak Uni Eropa terhadap lapangan pekerjaan di Inggris begitu terasa dengan mengalirkan ratusan ribu imigran ke Inggris, praktis dengan Brexit mereka harus angkat kaki dari tanah Britania. Berbalik dengan kita, dengan adanya MEA dan ACFTA kita seakan membuka keran pekerja asing secara besar-besaran tanpa ada kualifikasi jelas. Ratusan ribu pekerja illegal China dengan mudahnya memasuki kawasan Indonesia. Bagaimana lahan-lahan pekerjaan yang seharusnya mampu di ampu oleh pekerja dalam negeri kini dinikmati pekerja expatriate. Dengan gaji yang jauh lebih tinggi, dengan fasilitas yang diberikan kepada mereka lebih bagus. Dengan memperlakukan bangsa sendiri seperti ini, Pancasila dan UUD 1945 hanya pepesan kosong, jauh panggang dari api.
Kedua, bagaimana oposan juga harus mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa harus melupakan kepentingan nasional. Bagaimana program Brexit ini dilatarbelakangi keinginan Inggris untuk mandiri, mengelola kepentingan ekonomi dan politik mereka terlepas dari intervensi kawasan layak diacungi jempol. Oposan bertindak atas dasar kepentingan rakyat, bukan semata-mata demi menjegal pemerintahan. Jadi ada balancing kekuasaan di parlemen, sebuah pembelajaran bahwa rival merupakan tempat pengujian gagasan, bukan lawan yang harus ditumpas dan diberangus. Di dalam negeri kita, politik merupakan gerakan setuju berarti rangkul dan menolak berarti musuh, politik pragmatis yang mengedepankan urat dan otot. Maklum saja, budaya berpolitik di Indonesia tak jauh dari mencari rente, parpol mencomot secara instan kader-kader politik dengan siapa berani “menyetor” modal ke partai pengusung, bukan kualitas dan gagasan yang menjadi saringan. Sungguh naas, kita bak ayam mati di lumbung padi. Terlalu ironis, negara subur makmur namun miskin tak berdaya.

Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan para pemimpin merealisasikan gagasan yang telah mereka sampaikan saat berkampanye, bahwa kepentingan nasional-lah yang harusnya menjadi prioritas, bukan hanya rente, balas budi kepada pemberi modal kampanye. Sebuah pembelajaran dari Brexit, dari tanah Britania yang maju secara demokrasi dan ekonomi namun tetap saja masih khawatir dengan dirinya, berhati-hati dalam menyikapi kebijakan dan berpihak kepada rakyat bangsa sendiri. 

25 Juli 2016

KEBETULAN VS KETETAPAN

Pernah suatu hari jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan atau ketika di bus dan bertemu dengan teman semasa kecil atau seseorang yang lama kita tidak temui, maka kita kita sering mengatakan “wah kebetulan sekali kita ketemu disini” atau  ungkapan sejenis yang menyiratkan sebuah kebetulan atau kejadian yang tidak disegaja, tidak diduga dan tidak direncanakan kejadiannya. Atau mungkin yang lebih menarik misal jodoh, bagaimana nanti kita bertemu seseorang yang menjadi bagian dari hidup kita dari 6 milyar populasi manusia di muka bumi apakah ini adalah kebetulan?


Nah bagaimana kita melihat dari kacamata bukti-bukti matematika dan sains menafsirkan hal ini? Menurut penulis hal ini menarik dan menantang untuk di ungkap.
Dalam matematika, kita sering mendengar ungkapan “angka tidak pernah berbohong”, karena angka menyimbulkan kemutlakan dan memberikan kesimpulan yang bersifat tunggal, jelas dan terukur. Penafsiran terhadap angka bermakna tunggal dan semua orang akan mampu menyimpulan dengan makna yang sama atau angka bersifat general. Misalkan, berapa titik didih air pada tekanan 1 atm? maka semua orang akan menjawab 100oC. Nah inilah mengapa ukuran-ukuran matematika menjadikan syarat mutlak berbagai ilmu pengetahuan terukur.
Jika kita bicara kebetulan, maka kita membicarakan peluang (pasti semua pernah mendapatkan materi ini di SMP atau SMA). Penjelasan mudah tentang peluang adalah banyaknya kemungkinan yang bisa didapatkan dari sebuah proses. Semakin banyak kemungkinan proses, maka semakin kecil peluang suatu hasil dari proses. Jika dalam satu hari ada terang atau hujan, maka peluang hujan adalah ½ karena hujan merupakan 1 proses diantara 2 proses (terang dan hujan), tentu ini mudah dipahami.
Mari kita bicara yang lebih kompleks, jodoh misal. Bagaimana kebetulannya seorang laki-laki berjodoh dengan 1 orang perempuan? Jika dari 6 milyar populasi manusia di muka bumi setengahnya adalah laki-laki maka 1 orang laki-laki akan memiliki peluang 1/3.000.000.000 untuk berjodoh dengan salah satu perempuan dimuka bumi ini. Apalah arti 1/3.000.000.000 yang nilainya 0,0000000003 (jika saya tidak salah hitung) maka harga dari peluang ini akan mendekati harga 0.
Kemudian bagaimana peluang (kebetulanya) planet bumi terbentuk? Jika kita tahu bumi adalah salah satu planet diantara 160 milyar planet di Bima Sakti, dan alam semesta sendiri memiliki 200 milyar galaksi (Arnaud Cassan, Paris Institute of Astrophysics. 2012). Jika kita hitung peluangnya, maka peluang terjadinya bumi hanya seper 1024  (trilyun-trilyun), sebuah peluang yang super duper sangat kecil bisa dikatakan mustahil
Dari angka-angka tersebut jelas, bahwa proses kebetulan di bumi ini bisa dieliminasi secara matematika. Sekali lagi apakah anda percaya dengan angka? Karena angka tidak pernah bohong. Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.
Kemudian mari kita bahas secara sains.
Penemuan tentang bagaimana informasi genetis tersimpan (GEN) pada tahun 1950 oleh Francis Crick dan James Watson, telah menjadi sebab terjadinya antusiasme dan perdebatan. Salah satu perdebatan itu terjadi pada teori evolusi Charles Darwin, yang lagi-lagi ketika kita bicara evolusi, maka kita bicara sebuah proses kebetulan, dimana manusia berawal dari organisme sederhana yang berkembang dari proses alam yang dikenal sebagai proses “seleksi alam” dari pengaruh lingkungannya, ini yang dijejalkan kepada kita ketika kita SMP kan? He4.
Artinya jika kita percaya teori evolusi tersebut, maka kita percaya bahwa kita tejadi karena kebetulan dan berkembang dari makhluk lain yang sama sekali berbeda, atau bahkan bisa dari makhluk melata. Apapun ada kemungkinanya, bisa saja kita berasal dari sebuah kutu yang berevolusi jutaan  tahun sehingga menjadi manusia sekarang ini, yah jika kita percaya evolusi.
Namun, fakta bicara lain penelitian terhadap genom selama lebih dari 10 tahun (1990 – 2000an), manusia memiliki GEN sebanyak 20-25 ribu dengan 3 milyar pasangan basa (Adenin, Timin, Guanin, Sitosin) (Lander ES. Initial sequencing and analysis of human genome.2001). Dan jika kita mempercayai proses evolusi yang kebetulan itu, maka seharusnya kita berada di puncak tertinggi dari level kerumitan genetis karena manusia merupakan makhluk paling sempurna saat ini dari segi apapun karena kitalah yang menyusun teori evolusi.
Data menarik, memang kita tetanggan atau ada kekerabatan jika ditilik dari jumlah gen dengan monyet yang sekitar 95% mirip. Bahkan kita bisa dianggap berkerabat dengan “kutu benang “ yang juga dengan jumlah gen yang kemiripannya 95%. Tak cuma itu, dari penelitian Genom ditemukan bahwa padi memiliki 30-40 ribu GEN yang jelas mengalahkan manusia, bahkan  ikan paus memiliki 50 milyar pasangan huruf yang jelas mengalahkan manusia yang hanya 3 milyar. Bukankah teori evolusi menjadi sangat membingungkan ketika sampai pada fakta-fakta ini?
Ternyata perbedaan yang kecil (5%) tersebut memberikan perbedaan yang signifikan antara kita dengan monyet dan kutu benang. Dengan 5% itulah kekomplekan manusia dan keunggulan manusia terjadi. Bagaimana detilnya GEN makhluk hidup dengan pasangan bermilyar-milyar itu tidak saling tertukar? Bagaimana mungkin sebuah kebetulan menyusun kedetailan, bagaimana proses random (acak) bisa membuat kesempurnaan?
Bukankah memang kita telah ditentukan jalanya bahkan sejak dari sperma? Jalan kita telah digariskan. Dari puluhan juta sel sperma kitalah yang terpilih. Jadi apakah kita masih meragukan ketetapan Allah? Jika kita merenung dan memikirkan betapa penciptaan yang begitu sensitive dari berjuta protein yang ada di seluruh tubuh, maka kita akan menemukan ketetapan Allah SWT atas diri kita. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan  bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).
Kebenaran hanya milik Allah SWT.


TIGA TANGGA BERISLAM


Agama Islam merupakan agama yang optimis, banyak pesan Rasulullah salah satunya “sesudah kesulitan, pasti ada kemudahan”, kemudian ada juga “andai kata besok adalah yaumil akhir (kiamat) dan engkau memiliki sebuah biji, maka tanamlah biji itu”.
Sikap optimis itu sangat diperlukan ketika hidup di Indonesiayang seharusnya menjadi “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghaffur” (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman),
Namun data statistic menunjukan sebaliknya. Rasio Gini negara kita 0,41 sedangkan ketika 0,50 itu sudah masuk ke dalam negara gagal (fail state). Penguasaan lahan begitu luar biasa, 0,5% orang Indonesia menguasai 45% lahan di Indonesia. Di Jakarta, penguasaan lahan oleh salah satu etnis (Chi**) hingga mencapai lebih dari 70%. Di Malaysia, ada pengaturan penguasaan lahan dimana melayu 60%, China 30% dan India 10%, pemindah tanganan lahan hanya bisa dari sesame etnis, dan tidak boleh antar etnis, jadi ada keberpihakan pemerintah terhadap hal ini.


Masalah fundamental lain adalah nilai PISA kita meliputi Matematika, Science dan Bahasa kita termasuk yang paling rendah. Masalah sosial kita juga sangat menghawatirkan, bagaimana LGBT kini merajalala.
Ini semua menuntut kontribusi kita semua dan pertanyaannya adalah siapkah kita untuk menghadapi itu semua, sudahkah kita siap berkontribusi agar Indonesia menjadi negara yang “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghaffur”?
Tiga tangga yang ketika Allah izinkan kita menapaki ketiga tangga itu, maka kita akan masuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an “Kuntum Khoiru Ummah”, umat yang terbaik.
Tangga pertama adalah tangga AFILIASI (Kepemihakan)
Ketika kita telah memutuskan sebagai muslim, maka kita harus berpihak. Misalkan kasus LGBT dimana posisi kita?, kasus Kalijodo dimana posisi kita? Kasus ekonomi yang makin liberal dimana posisi kita? Kasus pemilihan RT dimana posisi kita?
Ketika pada periode makiyah terjadi pertempuran Romawi vs Persia yang dijelaskan Allah di awal Surat Ar Rum.  Bangsa Romawi dikalahkan oleh Persia ketika itu. Di Mekah saat itu terjadi dua kubu, yaitu kubu Kafir Quraish yang mendukung Persia yang lebih condong kepada dinulardh (agama dunia) dan Kubu Abu Bakar r.a. mendukung Romawi yang condong kepada dinnussamawat (agama langit).
Ketika Persia menang di pertempuran pertama, kafir Quraish perpawai, berpesata pora menyambut  kemenangan Persia. Ketika wahyu Ar Rum turun dan Romawi akan menang, Abu Bakar r.a. mendukung habis-habisan Romawi di kalangan kaum Quraish. Bahkan, Abu Bakar bertaruh untuk untuk kemenangan Romawi. Rasulullah SAW mendengar tersebut dan memanggil Abu Bakar r.a dan menanyakan perihal taruhan tersebut, namun Nabi SAW tidak melarang bahkan dalam riwayat lain, Nabi mengatakan boleh ditambah.
Kenapa Arab yang saat itu jauh dari Persia dan Romawi sampai sebegitunya? Tentu ini adalah masalah keperpihakan yang jelas.
20 tahun lalu, Brazil merupakan negara yang menolak LGBT, tapi sekarang ada UU yang melegalkan pernikahan sejenis. Padahal presentase orang yang menolak masih sama sekitar 80%. Dan yang mendukung LGBT 20%. Namun kini mereka menjadi generasi EGP (Emang Gue Pikirin), jadi ketika terjadi referendum, kelompok yang menolak ini kalah banyak dari yang mendukung karena banyak yang abstain, sehingga undang-undang pernikahan sesama jenis bisa lolos.
Di dalam Islam tidak ada konsep tidak memihak (abstain), karena “katakanlah yang haq walaupun itu pahit”. Salah satu jihad terbesar adalah mengatakan hal yang haq di depan penguasa yang bathil.
Ketika ada ayat “jauhilah daripada kamu zina…” dimana posisi kita. Ketika perbuatan mendekati zina dibiarkan, maka zina akan terjadi. Karena pertarungan antara yang haq dan yang batil akan selalu ada dan kita harus jelas, dimana posisi kita. Ketika kita diam itu bukan ciri orang Islam. Ketika banyak orang yang diam, ketika itulah kemaksiatan dan kedzoliman merajalela, karena hal ini tidak melulu karena peraturan namun yang lebih penting adalah dimana posisi kita.
Rekan, afiliasi saja tidak cukup, kita harus menapak pada tangga kedua yaitu PARTISIPASI
Setiap kita, setelah memihak harus ada yang kita lakukan. Pak Habibie pernah memberi contoh ketika menjadi Wapres, beliau melihat  Daftar Nilai Ebtanas Murni siswa SMA dari tahun 1986 – 1996 dan banyak nilai madrasah berada di posisi bawah, sedangkan 10 besar diduduki oleh sekolah-sekolah non Islam, seperti Kanisius, Marsudirini, BPK Penabur dll. Pak Habibie ambil partisipasi dengan mendirikan sekolah sebaik mereka dan dibiayai APBN. Kemudian berdirilah sekolah Insan Cendekia, sayangnya dari 30an provinsi saat itu baru berdiri 2 sekolah.
Partisipasi selanjutnya, apa yang kita punya. Kalo ada harta kita bisa sumbang harta kita. Kalo tenaga sumbang tenaga, kalo ada ide sumbang ide sehingga umat ini bisa saling menjaga.
Tetapi kawan, afiliasi dan partisipasi saja masih kurang. Harus ada kontribusi, inilah tangga ketiga.
Kontribusi merupakan partisipasi yang lebih spesifik dimana kita ahli di bidangnya. Seperti Ali bin Abi Tholib yang menjadi “bahrul ulum”, ‘Umar bin Khatab yang menjadi “Umar al Faruq” dan Abu Bakar yang lembut namun sangat tegas. Islam memiliki potensi yang luar biasa, Islam menunggu kontribusi kalian.
Tangga ini tidak mungkin terjadi ketika tidak ada tiga anak tangga yang menyusunya. APIKA (Afiliasi, Partisipasi dan Kontribusi).
Maka setiap kita harus berafiliasi dengan jelas, berpartisipasi terhadap proyek-proyek umat dan menekuni diri agar menjadi yang terbaik di bidangnya. Tidak ada Facebook jika tidak ada Marc Zulkenberg, Apple tidak mungkin maju dan menjadi perusahaan yang maju seperti sekarang jika tidak ada Steve Jobs, tidak mungkin kita bisa bertanya kepada Prof. Google jika tidak ada Larry Page dan Sergey Brin. Orang-orang itu ada pada diri kita, keluaga kita, siswa kita, mungkin kelak anak-anak kita. Ada potensi dimana akan muncul Ali bin Abi Tholib masa depan.
Saya termasuk salah satu yang kagum dengan Felix Siauw, seorang mualaf dan sekarang menjadi pendakwah. Beliau berusaha (berdoa) menjadikan anak beliau sebagai kafilah yang mewujudkan nubuah (ramalan) Rasulullah SAW dimana Istanbul (Konstantinopel) dan Roma akan ditaklukan. Istanbul Turki telah ditaklukan oleh Muhammad Al Fatih. Dan Nubuah Nabi SAW yang menjadi tanggung jawab kita adalah “Menaklukan Roma”. Felix Siauw berdoa bahkan sebelum anaknya lahir bahwa anaknya akan menjadi salah satu pasukan yang menaklukan Roma. Bisa dalam kebudayaan atau askar (tentara). Setiap kita, keluarga kita bertanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghaffur”.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang dimaktubkan dalam Al Qur’an “kuntum khoiru ummah”, ummat terbaik yang senantiasa teguh berafiliasi, terus berpartisipasi dan senantiasa berkontribusi dalam proyek-proyek umat.

GETIR DI SELAT SUNDA

Nikmat Allah SWT atas keindahan dan kesuburan Nusantara merupakan amanah yang harus dijaga demi kemaslahatan rakyat. Sebuah amanah yang berat karena Indonesia memiliki lebih dari 18 ribu pulau yang tersebar dari Sabang Nangroe Aceh Darussalam hingga Merauke di Tanah Papua.
Namun setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa belum sepenuhnya dengan baik menjalankan titah Tuhan. Salah satu potret ketimpangan sosial terjadi di Pulau Sangiang. Pulau ini merupakan salah satu potret diskriminasi yang ada di negeri ini. Tanah yang subur dan perairan yang kaya akan sumberdaya alam nyatanya tidak membuat masyarakatnya makmur namun justru jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Banyak faktor penyebab Sangiang yang dulunya sempat direncanakan sebagai kasino oleh Tomy Suharto ini terpuruk. Faktor utama adalah adanya sengketa antara warga dan pengusaha swasta yang memiliki klaim penggunaan pulau Sangiang dari pemerintah. Pemegang legalitas yaitu pemerintah daerah juga abai, karena merasa warga Sangiang hanyalah pendatang dan tidak memiliki hak atas tanah di pulau ini. Namun mereka telah secara turun temurun menempati wilayah ini sejak zaman penjajahan Belanda, jauh sebelum Proklamasi. Karena bukan dianggap sebagai warga sah maka akses pendidikan dan kesehatan terabaikan. Bayangkan saja, pulau yang dihuni ratusan kepala keluarga ini tak memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak, alhasil jika ingin berobat mereka harus menempuh sekitar 2 jam menuju daratan utama. Diskriminasi di bidang pendidikan juga sangat terasa, bagaimana anak-anak usia sekolah harus merantau meninggalkan rumah demi sekolah. Anak-anak yang seharusnya masih dalam buaian dan pengawasan bunda harus hidup jauh merantau demi mendapat akses pendidikan. Jadi UUD 1945 hanyalah isapan jempol di pulau ini, hanya wacana tanpa realita.
Hal keji dan tak manusiawi juga dilakukan para pengusaha licik di pulau itu. Demi melancarkan aksinya, pulau yang dulunya subur makmur, gemah ripah lohjinawi kini tak lagi bisa diandalkan saebagai mata pencaharian, karena adanya babi hutan liar yang sengaja dilepas oleh pengusa. Dampak nya begitu terasa, tanaman pangan tak lagi bersisa, pertanian hancur lebur karena hama ini memiliki efek destruktif. Babi ini juga mematikan mental warga, karena mereka menyerang dan berbahaya sehingga di malam hari warga jarang keluar rumah.
Keprihatikan dan kepedulian kita sebagai sesama muslim dituntut disini. Saudara kita di Sangiang sangat membutuhkan perhatian. Bukan materi semata, lebih-lebih mereka sangat membutuhkan semangat supaya mereka tidak kehilangan harapan. 
Adapun wawancara dengan penduduk asli Pulau Sangiang bisa di lihat di channel berikut bersama reporter : Mutia Amsuri Nasution