20 Agustus 2011

VCD vs UII...

Tidak diragukan lagi bahwa singkatan-singkatan seperti AC, VCD, DVD, dan TV sudah menjadi bagian integral dari bahasa Indonesia dan bahasa nusantara lain. Setiap hari singkatan tersebut kita temui diberbagai konteks. Setiap hari malah kita gunakan sendiri. Tentu ini sah-sah saja. Orang yang kreatif sekaligus menolak pengeruh bahasa Inggris yang terlalu dahsyat dalam bahasa Indonesia pasti dapat mengajukan alternatif lain yang lebih menusantara. Misalnya saja alat penyegar udara sebagai pengganti AC. he4...
Saya lebih tertarik pada pelafalan singkatan-singkatan ini di Indonesia. ari emapat contoh yang saya ajukan di atas, tiga biasa dilafalkan dengan logat Inggris atau setidak-tidaknya keinggris-inggrisan. VCD, DVD, TV. Cobalah sendiri! Kita tidak mengatakan /ve-ce-de/, /de-ve-de/, atau /te-ve/, tapi lebih sering /vi-ci-di/, /di-vi-di/, atau /ti-vi/.
Singkatan AC merupakan campuran kalau dilihat dari cara pelafalannya. A-nya dilafalkan dalam bahasa Indonesia, sedangkan C-nya dilafalkan dalam logat Belanda. Mengapa demikian? Tentu saja pertanyaan seperti itu tidak apat dijawab dengan langsung dan singkat. Akan tetapi, saya kira kita semua atau hampir semua dapat sepakat bahwa /ve-ce-de/ dan seterusnya terdengar agak kuno, kampungan dan tidak modern. Sedangkan yang sering diburu rakyat Indonesia dewasa ini adalah kemodernan, kecanggihan an kekerenan di lingkungan urban.
Nah meskipun argumen ini dapat kita anggap masuk akal ada juga beberapa singkatan yang sangat erat hubungannya dengan kemodernan dan kehidupan urban yang tidak cocok degan argumen itu. Singkatan yang paling mencolok adalah HP yang jelas-jelas berasal dari bahasa Inggris Hand Phone tapi dilafalkan dengan logat Indonesia /ha-pe/. Tidak pernah kita dengar ada yang menyebutnya sebagai /eich-pi/. Mengapa? Karena bunyi H-nya Inggris susah bagi lidah Indoensia dan lidah non-Inggris lainnya? atau ada alasan lain lagi?
Di Indonesia sendiri pernah saya dengar ada yang menyebut alat komunikasi itu sebagai telepon genggam. Ditelingan saya, sebutan itu terdengar cukup segar dan kreatif, tapi saya meragukan kemungkinan dopakai meluas di Indonesia.
Pelafalan singkatan paling aneh yang pernah saya dengar di Indonesia berhubungan dengan salah satu kampus terkemuka di Yogyakarta. Yang saya maksudnya adalah UII. Singkatan ini tentu saja berasal Universitas Islam Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Meski begitu, mahasiswa-mahasiswanya sering menyebut kampusnya dengan /yu-i-i/. Dengan kata lain, U-mya dilafalkan dalam bahasa Inggris sedangkan kedua I-nya dilafalkan dengan logat Indonesia. Ketika melafalkan dengan logat Indonesia /u-i-i/, saya ditertawakan dan dianggap cukup kampungan. Kalau saya melafalkannya sepenuhnya dengan logat Inggris /yu-ai-ai/ tidak ada yang mengerti apa yang saya maksudkan,
Kasus UII tentu sangat berbeda dengan kampus lain di kota pelajar itu, UGM, UNY dan IAIN atau UNS di Solo, misalnya, semua diucapkan dengan logat Indonesia. Untung bagi mahasiswa IAIN sebab mereka pasti kesulitan kalau singkatan kampusnya harus diucapkan dalam logat Inggris... he4...
(gambar diambil dari : http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/img/IslamicStudies/uii_PB050567%20copy.a.jpg)

6 Agustus 2011

Ramadan Dengan Keikhlasan

Ramadan bulan suci yang ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia. Ibarat petani yang sedang bercocok tanam..., bulan ini adalah masa dimana panen akan berkali lipat, segala sesuatu yang ditanam akan tumbuh dan berkembang beratus kali lipat. Hal yang sangat luar bisa tentu saja bagi umat muslim, amalan sunnah dihitung menjadi amalan wajib dan amalan fardlu dilipatgandakan hingga 700 kali lipat, tak ada bulan sedahsyat ini selain ramadan. Maka tak ayal pada bulan ini umat muslim berlomba untuk berbuat kebaikan mulai dari dzikir, baca qur'an sampai i'tikaf.
Namun ramadan kali ini ada yang special buat diriku, ramadan yang dilingkupi banyak langkah-langkah krusial dalam hidup. Ramadan yang penuh dengan pembelajaran kesabaran dan keikhlasan. Ramadan yang menuntut diriku membuat langkah spektakuler dalam perjalanan hati dan jiwa.
Rencana hidup yang pernah kubuat jauh hari harus kurubah karena datang seseorang. Yah rencana hidup, he4. Ibarat strategi, yah tiba-tiba alias ujug-ujug kurubah. Proposal mulai disusun, bahkan langkahnya sudah kuatur dengan detail mulai dari tanggal dan materi. Ketika rencana sudah mulai berjalan, dan tahap pertama diluncurkan ternyata tidak seperti bayanganku.
Ah... pengalaman pertama terserang virus merah jambu ini ternyata tidak berjalan mulus, ada kabar pesaing kuat yang ikut berkompetisi. Pesaing yang nampaknya mampu patahkan hatiku, dan benar adanya... walaupun tidak kudengar langsung dari "the sharp eyes" (karena tatapan matanya buatku lumer), tapi menurut laporan intelejen (koyo FBI wae...) memang sudah terjadi "khitbah". Yah apa boleh buat, tak ada yang patut dipersalahkan to? toh memang kalo diriku kembali berkaca, seseorang yang baik akan dapatkan yang sepadan. Wanita sedahsyat itu nampaknya terlalu tinggi buatku, ga level getow seperti yang 7icons bilang. Saya harus menenteng magnum SS-2 tercanggih di pundak berjalan pulang, infanteri yang kalah perang. Mungkin rudal "TomHawk" lebih dahsyat memborbardir dari pada Senjata sekelas SS-2 buatan Pindad, sebenarnya ingin pakai misil TAEPODONG-2, tapi ga kuat...he4. Untunglah ada SMS dari seberang sana yang kuatkan hatiku, petunjuk kalau pemilik mata tajam itu tahu perasaanku, mengurangi sedikit sakit di hati. Karena kata pepatah, "yang paling menyedihkan dan menyakitkan adalah ketika seseorang yang dicinta tak tahu perasaanmu..." dalem kan?
Aku berusaha melupakan kekalahan itu, tapi sulit luar biasa... Alhamdulillahnya, aku ketemu ramadan segera setelah kalah perang. Maka hatiku dikuatkan, dan pasti dengan ramadan tahun ini kembali menata hati menuju keikhlasan haqiqi, karena Alloh. Yah, Alloh dan Rasulnya tidak hanya mengajarkan optimis, namun juga realistis. Karena perpaduan dari keduanyalah sebuah ikhtiar yang haqiqi. Aku sudah berikhtiar, dan juga sudah berdoa... Alloh azzawajallah yang menentukan hasil.
Banyak hikmah yang kudapat. Rasa-rasanya ini peringatan dari sang Khalik agar aku kembali ke rencana awal yang kususun sebelum proposal kuajukan. Nampaknya harus belajar dari hikayat tunas bambu yang mempersiapkan diri lebih baik, baru kemudian muncul dengan langkah pasti dan meyakinkan.
Akhirnya, Alhamdulilllah, semoga ramadan kali ini mampu buatku menata hati yang sempat terjerembab, menata kembali dengan keikhlasan yang diajarkan Rosululloh SAW, semoga...
Gambar diambil dari : http://heninginside.blogspot.com/2010/05/memahami-kembali-makna-ridho-dan-ikhlas.html

5 Agustus 2011

RAMADAN ATAU RAMADHAN...?

Pak Brem punya masalah. "Bagaimana saya harus menulis Ramadan? Pakai dh atau cukup dengan d saja?"
"Mengapa repot, pak? semua koran menulis Ramadhan."
"Tapi dulu kita menulis tanpa h. Jadi, bagaimana ini?"
Pak Brem tidak salah. Orang yang mengalami zaman dulu tahu juga itu. Sekarang dimana-mana kita lihat Ramadhan. Ya mau apa lagi. Soal sisipan h seperti ini tidak bisa diatur, biarpun semua kamus menetapkan Ramadan. Tiap orang punya maunya sendiri, sebab bung h ini terlalu penting untuk disingkirkan. Dan peduli amat maunya rakyat Jiran. Biar saja koran Malysia selalu menulis Ramadan.
Itulah anehnya h. Di mandala Arab ada Ramadan, ada pula Ramadhan. Rakyat Pakistan menulis Ramazan! Bagaimana melafalkannya, kita tanya sajalah kepada mereka. Namun, kita sendiri dahulu juga menulis Ramadlan. Malah d-nya sering hilang dan, menurut kamus Zain, "rakyat biasanya menyebut bulan Ramalan". Nah, rakyat Jawa bilang, Ramelan. Jadilah ini nama ribuan orang.
Di tanah Sunda bulan suci ini biasa disebut Ramedan. Bunyi huruf e suka hilang, dan terdengarlah Ramdan. Bagus juga ini buat nama bayi, ya! Kita tengok saja buku telepon Bandung. Puluhan orang bernama Ramdan dan Ramdhan. Ada juga Ramdanah, Ramdani, dan Ramdini. Huruf h ini punya tempat khusus dalam bahasa kita. Biarpun tidak bunyi sebab Ramadan dan Ramandhan sama saja bunyinya tampilanya saja sudah menggetarkan. Seakan apa yang dimaksud kata ber-h itu menjadi lebih penting, lebih berharga, lebih besar, lebih tinggi, lebih anggun, lebih resmi, lebih terhormat, lebih agung. Ada nilai rasa khusus yang disandang bung h ini dalam bahasa kita. 
Kita bisa menuliskan darma, atau derma. Ada darmabakti, ada darmawisata. Namun, mengapa ditulis Dharma Wanita? mengapa orang menulis "lahir bathin?" Kita berbakti. Nyatanya sering kita lihat bhakti. Ada pula Graha Purna Yudha. Ada Buda dan Buddha. Sudah punya h, perlu dd lagi. Seorang pematung kita bernama Rita Widagdo. Eh, banyak orang suka menulis widagdha. Padahal bunyi d dan dh dalam widagdha ini harus sama, tidak boleh beda! Biar saja, peduli amat. Yang dicari itu gagahnya kok.
Ada batara dan bhatara. Ada busana dan bhusana. Rupanya gejala h ini banyak muncul pada nama. Semua ini mestinya pengaruh dari cara kita mengeja kata-kata Sansekerta dan Jawa kuno. Bahasa Purba memang keramat, sekeramat bahasa Latin. Sakti, kata orang. Lucunya, di Barat ada pula gejala h. Sebagian koran sana menulis Bagdad, sebagian lagi Baghdad. Ada Afganistan, ada juga Afghanistan. Namun, ini bukan perkara selera pribadi. Ini ketentuan berbagai bahasa sana. Atas dasar apa, entahlah. Sikap koran kita sekarang, mendingan ikut yang ber-h saja. Ajaib!
Akar kata Ramadan ini menarik sekali. Ada seorang Arab yang menguraikannya, Abdulhamid Mukhtar. Kara ramadhan berasal dari kata Arab ramida atau arramad, ujarnya. Artinya kekeringan dan panas amat sangat, terutama tanah. Sekarang, kita harus menduga saja apa hubungannya dengan puasa. Pertama, yang kering itu juga kerongkongan, oleh sebab lama tidak makan dan minum. Yang panas itu membakar segala dosa. Ini baru tafsir sederhana saja.
Lucunya lagi, kita menyebut Ramadan sebagai Bulan Puasa. Sumber kata Puasa itu sendiri bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Kawi. Kata Arabnya sendiri, siyam, dipungut bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan mungkin bahasa lain juga di Nusantara. Orang Sunda bilang siyam, dan orang Jawa siyem. Ada lagi pengutan Arab yang dipakai orang Sunda dan Jawa, yaitu saum. Ini diartikan puasa juga.
Pak Brem belum habis soal. "Sekarang ini diradio banyak orang bilang Romadon. Apakah menulisnya harus Romadhon?" 
Ah, sudahlah pak. Pusiiing!
Gambar diambil dari : http://storymoryrab.blogspot.com/2011/08/ramadhan.html