9 Mei 2014

Burung-burung Buruan di Masa Kecil

Masa kecil merupakan masa terindah, tak terelakan bagi penulis sendiri. Saya yang asli Sragen Jawa Tengah, merasa bersyukur dilahirkan di tengah pedesaan yang indah dan rindang dengan pepohononan. Kegiatan sehari-hari tak jauh dari bermain. Berenang menjadi agenda rutin, maklum saja rumah dekat dengan sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo. Tak ada hari tanpa berenang atau “ciblon” dalam bahasa lokal. Selain berenang, mencari ikan juga tak ketinggalan. Masih ingat dalam kenangan, bagaimana waktu itu “sosok”, “ikrak” ataupun “jaring” menjadi perlengkapan wajib tiap minggu pagi. Jika sedang musim hujan, dimana ikan dan berenang menjadi tak menarik (takut banjir), maka mencari burung adalah kegiatan yang tak kalah asiknya. Yang paling menarik adalah senjata yang teramat sacral bagi kaum pemburu burung, yaitu “plintheng”. Ketapel mungkin lebih dikenal di nusantara. Alat ini digunakan untuk melontarkan batu guna  menembak sasaran yaitu burung-burung malang. Tak jarang jika meleset, maka batu itu akan mengenai rumah penduduk, sialnya kita bakal dilaporkan ke orang tua karena tingkah kita itu.
Burung-burung ini kini semakin langka, bahkan di daerah asalnya, dimana saya tinggal. Bagaimana waktu itu kita dengan mudahnya menemukan burung macam Perenjak Jawa, Wiwik atau Gaok. Burung-burung ini spesial. Karena secara tidak langsung memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat di Jawa. Mengenai burung-burung ini, sekilas penulis akan mengulas. Ada beberapa burung khas yang menjadi endemik di Jawa dan mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa mitos.


                                               Gambar 1 : Burung Perenjak Jawa

Burung pertama yang adalah burung Perenjak Jawa (Prinia Familiaris). Burung ini sangat terkenal dengan suara yang tiada duanya. Jika burung ini mengoceh di depan pintu maka diartikan pertanda akan ada tamu, akan ada kebakaran atau akan ada rezeki tak terduga. Sejauh ini hubungan burung dengan berbagai kejadian atau fenomena alam itu memang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Meski kenyataanya memang sering terjadi, kicauan Perenjak di depan rumah diikuti dengan kedatangan tamu beberapa saat kemudian, tetap saja itu bukanlah pembuktian yang sahih.
Toh, banyak rumah lain yang tidak didatangi perenjak juga ada tamu. Ini artinya, segala teori yang menghubung-hubungkan perilaku burung dengan berbagai kejadian itu hanya sebatas mitos, atau kepercayaan yang diyakini bersama oleh masyarakat tanpa ada pembuktian secara ilmiah.
Perenjak Jawa termasuk suku Silviidae yang biasa hidup di hutan bakau dan areal terbuka terutama di kebun.  Burung yang umumnya berwarna cokelat, kuning,  dan hijau ini sangat lincah memburu mangsa diantara dedaunan. Ukuran tubuhnya sekitar 13 cm dengan sayap bergaris putih khas serta ekornya hitam putih. Sementara itu, tubuh bagian atas cokelat sampai kehijauan, dengan tenggorokan dan dada tengah putih. Selain perenjak Jawa, yang termasuk dalam suku ini adalah Perenjak Gunung (Prinia atrogularis), Perenjak Padi (Prinia inornata) dan Perenjak Rawa (Prinia flaviventris). Diantara kelima spesies ini, Perenjak Jawa adalah yang paling terkenal di kalangan masyarakat Jawa, karena suaranya keras dan khas itu banyak diartikan sebagai pertanda berbagai hal dalam kultur Jawa.
Suara “cwuit-cwuit-cwuit..”-nya bisa menjadi pertanda kejutan yang menyenangkan. Namun, konon suaranya juga bisa berubah menjadi “hiii-hiii-hiii”. Memang, umumnya perenjak bersuara ribut bersama kawanannya saat mencari mangsa di tanah sampai pucuk pohon.
Burung kedua adalah burung Wiwik (Cacomantis merulinus). Suara burung ini kadang kala memang membuat bulu kuduk berdiri. “Hiii-tiii-ti, ti, tir-ri-ri-ri. Hiii-tiii-ti, ti, tir-ri-ri-ri!” Mula-mula naik nadanya, kemudian turun ketika memekik “tir-ri-ri-ri-ri”. Konon suara itu adalah pertanda bahwa sebentar lagi malaikat maut akan datang, tepat di tempat si wiwik tadi memekik.


                                           Gambar 2 : Burung Wiwik

Kicauan wiwik sebenarnya tidak perlu ditakuti karena suaranya tergantung pada suasana hatinya sendiri. Nada suaranya rendah, murung, seperti orang kecewa  : “pi-u-wit..pi-u-wit” biasanya muncul disaat hujan. Sementara disaat cerah dan pakan melimpah, maka dia akan sangat senang dan nadanya pun riang : “ti-ti-tuit, ti-ti-tuit, ti-ti-tuit”. Nyanyian hati yang berbunga-bunga ini diteriakan sampai berulang kali hingga membuat gemas pendengarnya.
Burung ketiga adalah burung Gawok, burung terakhir ini juga ketiban rezeki sebagai peramal maut yang ulung. Dahulu kala, ketika gaok hitam berkaok-kaok di sekitaran rumah, pasti pemilik rumah jadi ketakutan karena akan segera menemui ajal. Teriakan rendah dan berat : “aaa-ok, aaa-ok” pun jadi mimpi buruk penduduk.


                                           Gambar : Burung Gaok

Mungkin satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah gaok hitam memang paling akrab dengan bangkai. Begitu ada bangkai, rombongan gaok akan langsung datang berbondong-bondong mengerubuti bangkai itu. Jadi, kedatangan gaok diperkampungan atau sekitar perumahan diindikasikan sebagai ramalan bahwa di tempat itu ada atau bakal ada makhluk yang jadi bangkai. Alhasil, semua orang ketakutan dijempul el-maut dan mengusir-usir si gaok agar jauh-jauh dari rumahnya.
Cerita tentang raja-raja mitos ini memang taka da habisnya. Namun alih-alih memperpanjang perkara mitos ini yang tiada hentinya itu, lebih baik menambah pengetahuan kita tentang khasanah burung  Nusantara yang unik.  Mitos boleh terus melegenda dalam masyarakat, tapi ornitologi harus terus berkembang dan jangan terpaku pada mitos tanpa pembuktian ilmiah.

Sumber :
Gambar 1 : http://2.bp.blogspot.com/ -rTyqAUMBK_o/ UA_zOUUbP3I/AAAAAAAAAW8/ oiphCEm1Ze0/ s1600/ burung+prinjak.jpg
Gambar 2 :http://alamendah.files.wordpress.com/2011/09/ wiwik-kwlabu-kedasih- cacomantis-merulinus.jpg
Gambar 3 : http://gambaraneh.16mb.com/wp-content/uploads/2012/04/gaok-2.jpg