25 Januari 2016

Hal dan Maqam

Hal dalam bahasa Arab adalah hidup seseorang di kedalaman jati dirinya dengan berbagai anugerah dari Alam Baka, serta merasakan dan memiliki kesadaran atas berbagai perbedaan antara “malam” dan “siang”, “pagi” dan “petang”, yang terjadi di dalam cakrawala hatinya. Orang-orang yang memahami “hal” sebagai sesuatu yang meliputi hati manusia, baik berupa kesenangan, kesedihan, kelapangan, atau kesempitan yang terjadi begitu saja tanpa ada upaya atau pun usaha. Mereka juga menyatakan bahwa “Maqam” itu ada jika kejadian dan intuisi berlangsung terus menerus secara berkesinambungan dan stabil, sedangkan nafsaniyyah akan muncul sewaktu-waktu, bersifat tidak permanen dan muncul dari hawa nafsu. Hal bersifat berkesinambungan ketika keberadaannya bersama maqam, sementara hal akan hilang jika muncul dengan “kedirian” (annafsiyyah) kita.


Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat dikatakan bahwa hal adalah sebuah anugerah ilhiyah yang merasuk ke dalam relung hati. Sementara “maqam” adalah sampainya manusia pada fitrahnya yang kedua dengan menyerap anugerah Illahi tersebut dengan kehendak dan tekad seseorang hingga ia menguasai jati dirinya.
Istilah “Al Hal” dipakai untuk menunjuk pada sumber segala sesuatu tanpa tirai dan hijab, sebagaimana ia terdapat di dalam makhluk, kehidupan, cahaya dan rahmat, yang selalu mengingatkan kearah tauhid yang murni, sebagaimana ia senantiasa mengarahkan manusia agar memiliki kekuatan spiritual dalam melakukan pencarian alternatifnya.
Sedangkan “al Maqam” menentukan dan memutuskannya dalam lentera yang diliputi “kabut” kerja keras dan “asap” usaha, untuk kemudian mengikat hakikat dengan singgasana kesempurnaanya. Oleh sebab itu, maka persepsi dan intuisi terhadap berbagai anugerah Illahi yang mengalir ke dalam hati, dan perjalanan menyusuri jalan disetiap saat, menuju Dia yang di dalam hati dikenal dengan pernyataan “Aku adalah harta tersembunyi” merupakan satu tahapan yang lebih mulia disebabkan berbagai anugerah yang ada di dalamnya dibandingkan diri kita sendiri dan interpretasi sesuai corak yang kita miliki.
Itulah sebabnya, Sayyidina ash-Shadiq al-Mashduq Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh kalian dan tidak pula ke penampilan kalian, tetapi Dia melihat ke hati kalian” (HR. Muslim dalam Al-Birr 33). Sabda Beliau ini mengingatkan kita pada apa sebenarnya yang penting bagi Allah al Haqq Subhanahu wa ta’ala. Di samping itu beliau juga menuntut kita untuk mengarahkan pandangan menuju at-tajalli pada yang menjadi arah yang harus dituju oleh semua “mihrab” ibadah kita.
Dalam sebuah riwayat lain Rasulullah Shallalluhu’alaihi wa sallam menyebutkan amal perbuatan bersanding dengan hati. Beliau bersabda, “sesungguhnya Allah tidak melihat ke penampilan kalian dan harta kalian, melainkan Dia melihat ke hati dan amal perbuatan kalian” (HR. Muslim dalam Al Birr 34). Sabda ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap maqam, serta demi kepentingan hal yang menghantarkan manusia kepadanya.
Al-Hal” adalah berbagai tajalliyat yang terjadi pada saat-saat persesuaian dengan Kehendak Ilahi yang mutlak. Ia juga adalah ranah penyebaran tajalliyat tersebut di dalam cakrawala hati manusia. Sebaliknya, perasaan atau persepsi selalu mengurangi dan menghilangkan semua tajalliyat itu. Oleh sebab itu, maka maqam yang menjadi salah satu tahap di mana “gelombang” sudah reda, menjadi antonim bagi “hal” yang merupakan semacam ayunan antara pasang naik dan pasang surut yang berhubungan dengan berbagai entitas yang lebih tinggi.
Setiap panampakan dan kemunculan datang dalam bentuk baru yang selalu berbeda dari yang sebelumnya. Ia selalu beralih dari tampak lalu bersembunyi seperti spektrum cahaya yang memiliki panjang gelombang dan warna bermacam-macam meski semuanya berasal dari satu matahari yang sama.
Ruh dan perasaan yang mawas terhadap ma’rifat Ilahiyah akan mampu melihat gelombang “hal” ini di dalam relung hatinya, seperti mata melihat spektrum cahaya matahari yang memantul di permukaan air. Manusia dapat melihat, merasakan dan meresponya dengan berbagai macam kemampuan persepsi yang dimilikinya. Itulah sebabnya, orang-orang yang hati mereka masih terputus dari alamnya yang sejati, biasanya akan melihat itu sebagai fantasia tau khayalan belaka. Padahal itu adalah hakikat paling hakiki (ahaqq al haqaiq) dan penampakan paling jelas bagi mereka yang melihat entitas menggunakan Cahaya Kebenaran yang Sejati (Nur Al-Haqq al-Mubin).
Itulah sebabnya, Rasulullah sebagai manusia yang memiliki “hal” terbesar di antara semua manusia, Beliau selalu melihat hal-nya dimasa lalu dengan keadaan hal-nya disaat ini, seingga beliau bersabda, “demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali”, (HR. Bukhari, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibu Majah dalam Al-Adab 57).

Ya tidaklah mungkin sebongkah hati yang suci dan disucikan Allah dapat memikirkan pikiran selain dari pikiran seperti itu dalam perjalanannya menuju keabadian dan dengan kesadarannya atas kebutuhan pada cahaya keabadian.

Daftar Pustaka :
Imam Al Muslim. Al Birr : 33 dan 34
Imam Ibnu Majah. Al Zuhd : 9
Imam Ahmad. Al Musnad 2:285, 539
Muhammad Fetuhullah Gulen, Bukit-bukit Zamrud Kalbu dan Mata Air. 2016.

19 Januari 2016

Minangkabau dan Miami

Dulu, ketika pilot hendak mendaratkan pesawat terbang kami di Padang, saya tersentak menyimak maklumat pramugari. Kita sebentar lagi, katanya, tiba di Bandara Internasional Minangkabau.
“Lo, Tabing silih nama jadi Minangkabau?”
“Ah, Bapak saja yang tak baca Koran,” kata tetangga duduk saya. “Minangkabau itu bandara yang menggantikan Tabiang.”
“Ya, malas sekarang baca Koran, Uni. Tulisan di semua surat kabar pendek-pendek tapi kendor. Sama saja dengan yang dulu. Panjang-panjang tapi kabur. Lebih baik dapat berita dari televisi atau radio.”


Bandara Internasional Minangkabau rancak, rapi, dan bersih. Atapnya segera menyiratkan daerah tempat lahir pemimpin juga pemikir andal Haji Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta dan Sjahrir. Itu menyebut beberapa dari masa dulu.
Mahasiswa Universitas Negeri Padang penjemput saya mengatakan selagi di bangun, di mandala Sumatera Barat bandara itu dijuluki MIA. Ini singkatan Minangkabau International Airport. Menjelang peresmiannya, rupanya ada yang mengingatkan, MIA kadung jadi kode pelabuhan udara Miami di Amerika Serikat. Sekarang, kata mahasiswa tadi, kami namai BIM : Bandara Internasional Minangkabau.
“Bagus, bagus,” saya bilang.” Kode dunia membuat Padang menobatkan bandaranya dengan singkatan yang berasal dan taat asas dengan bahasa Indonesia.”
Di luar kawasan BIM hampir semua orang yang saya jumpai di Padang menyebut MIA untuk pelabuhan udara yang dapat langsung memberangkatkan penumpang ke Singapura, Penang, dan Kualalumpur itu. Barangkali ini keterlanjuran saja, bukan lantaran kebiasaan kuminggris seperti yang kaprah pada segenap artis pengusaha, pejabat, pegawai, karyawan, sampai anggota DPR di Jakarta.
“Lalu, Tabing jadi apa?”
“Tabiang itu punya Angkatan Udara.”
Saudara-saudara di Sumatera Barat menyebutnya Tabiang, bukan Tabing. Mengapa tidak ditulis sebagai “Tabiang” saja kalau demikian membacanya?
“Itulah! Payakumbuah kami sebut, tapi kami harus menulisnya Payakumbuh,”
Saya jadi teringat pada Ayatrohaedi. Munsyi ini menulis bahwa ejaan yang sekarang kita gunakan dan berdasarkan kesepakatan dengan Malaysia memasyarakatkan dengan nama EYD, ejaan yang disempurnakan, padahal semula yang dimaksudkan adalah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. “Mungkin kerena ejaan itu juga diberlakukan untuk system penulisan bahasa daerah apapun di Indonesia jika menggunakan aksara Latin,” kata Ayatrohaedi.
Tabiang, demikian Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia susunan H. Abdur Kadir Usman (Padang, 2002) berarti ‘tebing’, tapi juga ‘pelabuhan udara di Padang’. Karena mau dipertahankan dalam bahasa daerah setempat, bilangan yang berada di sekitar Padang ini mestinya, sesuai dengan ketentuan EYD, ditulis sebagai “Tabiang” saja. Toh Kamus Bahasa Indonesia-Minangkabau keluaran Pusat Bahasa (Jakarta, 2001) dalam lema tebing menulis tabiang sebagai padanannya.
Kalau mau diindonesiakan, seperti halnya New Zealand menjadi Selandia Baru, ia harus jadi Tebing. Begitu pula dengan Payakumbuh. Tulis saja Payakumbuah. Ajek dengan EYD, bukan? Ganti penulisan menamai wilayah sah-sah saja. Makassar oleh Orde Baru berubah jadi Ujungpandang, kembali lagi ke Makassar sekarang.

Balik ke MIA dan BIM. Rupanya dari paling tidak 9.497 bandara yang sudah diberi kode Internasional, menurut world-airport-codes.com, BIM sudah dipatenkan buat bandara Bimini di Bahamas. Maka, Bandara Internasional Minagkabau harus mencari kode lain. Pekerjaan ini mungkin makin sulit kalau kode itu harus dihubungkan dengan nama Minangkabau sebab dari MIA sampai MIZ, demikian pula MKA sampai dengan MKZ sudah dipatenkan. Bukankah Bandara Internasional Soekarno Hatta diberi kode CGK, dari Cengkareng? Bukan BSH sebab kode ini untuk bandara Brighton, Inggris. Akhirnya, kini kode PDG yang dipilih dari kata “Padang”. Yang cukup tepat saya kira buat kode, karena cukup merepresentasikan bandara di tanah Minangkabau ini.

Daftar pustaka :
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Wikipedia Indonesia
Salomo Simungkalit, Kolom Bahasa Kompas

4 Januari 2016

FREEPORT EKSPLOITASI MENTAL INLANDER PEJABAT NEGERI

Siapa yang tak tahu Indonesia yang sejak dahulu kala menjadi rebutan bangsa asing karena kekayaan alamnya. Zamrud Khatulistiwa ini begitu menakjubkan, sampai-sampai pedagang dari Eropa dan Afrika rela berlayar berbulan-bulan demi mencapai Indonesia, demi rempah-rempah yang saat itu seharga emas.



Nusantara yang begitu makmur di bawah panji kerajaan-kerajaan Islam dan sultan-sultan yang adil, benar-benar mencerminkan gemah ripah lohjinawi, semua rakyat makmur, cukup makan dan sejahtera lahir batinnya. Hingga kedatangan kaum kapitalis Portugis yang membawa semangat Gold, Glory dan Gospel ditahun 1512. Mulanya Portugis berdagang dengan penduduk lokal dan menjalin mitra dengan mereka. Kemudian otak licik mereka bekerja, tak lagi berdagang dengan adil, mereka mulai memonopoli perdagangan, semua perdagangan mereka kuasai. Kekuatan militer dan lobi terhadap penguasa lokal menjadikan mereka punya taring di pelabuhan.
Ketika pelabuhan sudah dikuasai, mereka mulai membangun benteng dan melancarkan misi mereka dengan menguasi wilayah perdagangan sebagai jajahan. Dengan persenjataan lengkap mereka dengan mudah menaklukan raja sebagai penguasa lokal. Mereka mau tidak mau membiarkan program commonwealther dalam melancarkan rencana eksploitasi terhadap rakyat. Tanam paksa dan kerja paksa, siasat biadap penjajah pemasung kebebasan tanpa nurani. Begini keadaan rakyat nusantara hingga berganti tirani
Kemudian Belanda datang setelah mengusir Portugis pada tahun 1602. Kekalahan Portugis memaksa mereka angkat kaki dari Nusantara dan menyerahkan kekuasaan kepada Hollanda. Ditangan Belanda, kita terjajah hingga 3 abad. Dibawah VOC (Verenigde Oost indische Compagnie) kita termonopoli dan terpasung kebebasan hingga melewati dua kali perang dunia. Lebih kejam, lebih  nggegirisi, karena tindakan mereka yang semena-mena terhadap rakyat. Taktik keji devide et impera dilancarkan kumpeni, mengadu domba kemudian menguasai menjadi metode jitu hingga kekuasaan langgeng hingga 30 dekade. Mereka sadar bahwa nusantara beragam dan penuh perbedaan. Bangsa ini dahulu belum sadar, perbedaan adalah sebuah senjata dan kekuatan maha dahsyat yang mampu mengalahkan kekuatan asing manapun, persatuan adalah bahasa yang belum dikenal, bahkan belum ada dalam angan pemimpin saat itu.
Inlander, begitu istilah yang disematkan kepada kaum pribumi nusantara. Julukan yang sebetulnya bermakna sangat menyakitkan, bermakna sangat menyayat bagi harkat dan martabat bangsa ini. Inlander yang berarti jajahan, bawahan, suruhan dan makna konotatif tertuju pada “budak”. Budak yang dikuasai sepenuhnya, dikuasai dari semua segi hingga hak asasi manusia. Belanda saat itu mengeruk habis kekayaan kita dan membawa ke negeri mereka, dan dengan bangganya mereka menyebut DAM yang mereka bangun di negera asal mereka sebagai kekayaan dan kehebatan. Mereka hanyalah lintah, drakula penghisap darah yang berhutang banyak pada nusantara. Van den Bosch yang membantai jutaan rakyat dalam kerja paksa mereka anggap pahlawan.
Didikan kolonialisme Belanda, yang sangat menjerumuskan. Tengok saja, mental terjajah begitu mendarah daging, mental takut menentang kaum kapitalis masih tersisa, bahkan dalam jiwa pemimpin dan wakil kita di eksekutif dan legsilatif saat ini.
Mental inlander yang akut ini tercium oleh Freeport persahaam tambang asal negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Bayangkan, tambang emas dan logam mulia dari bumi nusantara dikeruk hampir 30 tahun terakhir dan kita hanya kebagian upeti 1%, berton-ton mineral berharga yang tertambang, kita hanya kebagian hitungan kilogram. Pemimpin sepertinya tak pernah mendengar suara bawah yang menginginkan tambang itu kepangkuan ibu pertiwi.
Ketika kontrak karya Freeport Mcmoran akan segera berakhir di 2021, otak licik Freeport mulai bekerja. Tengok saja, seorang legislator dari partai beringin, yang notabene adalah ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, mencatut nama Presiden untuk memperpanjang kontrak karya Freeport hingga 2040. Dengan dalih mendapat upeti 18%, mereka beralasan dan berani mencatut nama Presiden, sebuah entitas lembaga tinggi negara, yang lebih dari itu adalah penghinaan terhadap rakyat negeri ini.
Setelah ketahuan belakangnya, sebut saja Setya Novanto, tak juga malu dan mengundurkan diri. Partai kuning bekas penguasa membawa kasus ini ke dalam MKD (Majelis Kehormatan Dewan), yang jelas sama busuk otaknya. Telah diduga sebelumnya, SN bebas melenggang, tanpa hukuman berarti. Hanya pencopotan jabatan ketua, tapi tetap menjadi anggota dewan di Senayan.
Meskipun kadang cinta tak ada logika, tapi tindakan MKD ini lebih tak bernalar dan bernuarani. Jika seseorang mencemarkan nama baik ketika salah sebut di media sosial seperti kasus para artis saja, bisa dituntut ke meja hijau, apalagi ini kasus mencatut nama, menggunakan legalitas dan kewenangan presiden untuk kepentingan perutnya, kenapa hanya dijatuhi hukuman pencopotan jabatan. Selayaknya orang macam ini dihukum mati atau minimal seumur hidup dipenjara. Apa akibatnya jika kasus ini dibiarkan, semua orang yang berakal bulus di DPR akan mencatut nama presiden sebagai legalitas tindakan mereka yang bernafsu menjarah bangsa mereka sendiri.
Inilah mental inlander, mental budak terjajah, belum bebas dan tidak merdeka secara hakiki. founding father bangsa ini telah berpesan dalam UUD 1945 pasal 33, bahwa kekayaan nusantara harus dikembalikan demi kesejahteraan rakyat. Tapi yang mereka perbuat sungguh jauh panggang dari api. Apa yang diramalkan oleh Ranggawarsito dalam bukunya, bahwa kelak bangsa ini akan dijajah lagi bukan oleh bangsa asing saja, namun ada yang lebih kejam, yaitu oleh bangsanya sendiri. Kini, dalam perkembangannya, SN menuntut menteri ESDM yang menjadi wistle blower dalam kasus ini, pengungkap fakta kebusukan kader Partai Golkar. Bagaimana mungkin penjahat macam ini laporanya bisa diterima oleh kejaksaan? Miris.
Apa yang terjadi di dewan ini adalah menguak betapa bobrok dan buruknya kualitas dan nurani dari kaum legislator. Apa yang mereka kejar dan perjuangakan selama mereka duduk di kursi terhormat? Yah, kejar setoran dan balik modal, sehingga apapun akan dilakukan demi mendapat upeti dari proyek yang mereka kerjakan. Institusi DPR telah berubah menjadi lembanga pengejar rente, pengejar provit, tak ubahnya makelar, makelar yang tega menghisap darah rakyat yang telah mempercayai mereka menjadi wakil yang akan memperjuangkan nasib dan kemajuan bangsa ini.
Ironis, tapi ini bukti kegagalan proses demokrasi. Demokrasi yang mahal dan berorientasi materi menjadi pangkal. Rakyat yang memilih karena money politic, kini merasakan efek domino proses yang juga mereka dukung dimasa pemilu. Kita seharusnya belajar, mereka yang menginginkan amanah dengan cara menyuap pemilih akan menghasilkan kinerja yang buruk. Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap bahwa bangsa ini akan segera sadar dan tidak terjerumus lebih dalam masuk ke lembah kenistaan. Semog Alloh SWT lindungi bangsa dan rakyat bangsaku ini. Amin.

Gambar diambil di : http://www.luwuraya.net/wp-content/uploads/2014/10/setyanovanto.jpg