23 Mei 2015

Renungan : Hanya Ada Satu Arah

     Hari berganti hari dan kita tetap mengerti, apa sebenarnya yang kita cari dan ingini. Pencapaian yang tampak begitu membanggakan, adalah jebakan tak berkesudahan akan keinginan selainnya yang lebih lagi. Jika mampu, kita ingin mereguk yang lebih melimpah, lebih mewah, lebih indah dan sejuta lebih-lebih lain. Dalam bilangan tak terhingga tanpa kenal batas tepi. Dan bukankah memang akan selalu begitu, keadaan para penghamba dunia?


     Kemudian kita melupakan hal yang paling asasi, mengenal dan mencintai Allah. Pondasi utama dari sebuah tugas besar dan tujuan penciptaan, beribadah kepada-Nya. Berbakti, mengabdi, pasrah, menyerah sepenuhnya. Yang keberadaannyalah esensi dari keberhasilan dan rasa kenikmatan. Dan kehilangannya meniscayakan kegagalan dan hampa akan semua yang bisa dirasakan.
      Tapi bagaimana jika kesibukan kita, bukanlah pengejawantahan dari nilai-nilai  kepasrahan itu? Tak jelas mau kemana, bias dalam seluruh tatanan nilainya. Hingga perasaan berarti yang palsu dan menipu, namun membelenggu karena pemahaman yang keliru. Apakah seperti ini yang memang seharusnya kita lakukan di dalam hidup. Sebagai manusia, atau sebagai hamba Allah?
     Yang akhirnya, membuat kita tak sempat melakukan taat. Tak sabar untuk belajar. Tak punya waktu bahkan sekedar berwudlu. Kita gunakan semua waktu untuk memburu. Kita pakai semua angan untuk merancang. Juga semua cita-cita untuk meraja di dunia. Kita takut kehilangan, hingga menjadi rakus dan buas. Semua harus diberangus, semua harus dilibas, siapapun yang kita anggap menjadi penghalang. Tapi bagaimana jika itu adalah tatanan syariat dari Yang Maha Membuat, Yang Maha Menjadikan? Yang semestinya menjadi penyikap hakikat dan penunjuk jalan yang terang?
      Belumkah kita menyadari jika semua itu adalah hukuman sebab kita meremehkan iman? Menganggap tidak penting untuk belajar mengenal, mencintai hingga menyerahkan diri kepada Allah? Adakah hal yang lebih menakutkan daripada manusia yang kehilangan, sebab tak membutuhkan, bimbingan Sang Maha Rahman dalam hidupnya?
    Hingga kesibukan yang terus bertumpuk dan tak pernah usai, harus kita hadapi sebagai sebuah kensekuensi. Menghabiskan umur untuk semua yang tak kita bawa ke kubur. Untuk semua yang tidak pernah membuat kita puas. Tidak menenangkan jiwa dan membuat dada lega. Bahkan untuk semua yang akhirnya kita sesali.
     Maka, perlombaan itu ada dalam kebaikan, kompetisi itu ada dalam kebaikan, kompetisi itu dalam ketaatan, dan kemenangan itu dalam ketakwaan. Tidak selalu harus mengalahkan orang lain, jika sebagian besarnya justru mengalahkan diri sendiri. Membersihkan kalbu agar bisa menyatu dengan arahan Yang Maha Tahu. Menambah kecerdasan agar kesibukan kita tak kehilangan arah.

     Sebab hanya ada satu arah yang pasti : Kepada Allah, semua manusia akan kembali. Tapi kenapa kita tetap tidak menyadari dan mengerti?




Pustaka :
Gamba diambil dari : http://www.wiranurmansyah.com/wiranurmansyahcom/wp-content/uploads/2013/09/17-bajo_05.jpg