15 Agustus 2014

Konsumsi Mie Instan Terlalu Sering, Beresiko?

 Semangkuk mi instan rebus dengan telur dan irisan cabai rawit memang godaan yang sulit ditolak. Tak heran jika mi instan termasuk dalam makanan siap saji yang paling banyak disukai. Namun, sebaiknya batasi konsumsinya.
Terlalu sering mengonsumsi mi instan, yakni sekitar 3 kali seminggu, akan meningkatkan risiko penyakit sindrom kardiometabolik. Kondisi ini bisa membuat seseorang berisiko tinggi terkena penyakit jantung, diabetes, dan stroke. Penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat dan dimuat dalam Journal of Nutrition. Menurut ketua peneliti, Dr Hyun Joon Shin, kebiasaan mengonsumsi mi instan lebih berdampak buruk pada kaum wanita.


Penelitian yang dilakukan Shin difokuskan di Korea Selatan karena mi instan dan juga ramen merupakan favorit orang Asia. Korea Selatan sendiri merupakan negara dengan konsumsi mi instan tertinggi di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir ditemui peningkatan jumlah masalah kesehatan, terutama penyakit jantung dan banyaknya orang dewasa yang kegemukan. Atas dasar inilah Shin melakukan penelitian untuk mengetahui kaitan antara konsumsi mi dan kesehatan.
Mi instan, seperti halnya makanan yang diproses lainnya, mengandung garam yang tinggi. Pola makan tinggi mineral seperti ini bisa meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Penelitian lain juga dilakukan oleh Braden Kuo, ahli kesehatan pencernaan dari Massachusetts General Hospital di Boston. Ia menggunakan kamera berukuran sangat kecil untuk melihat apa yang terjadi pada organ pencernaan setelah seseorang makan mi ramen instan.
Kebanyakan mi ramen instan, menurut Kuo, mengandung zat kimia tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ), pengawet makanan yang merupakan produk biobutane, yang juga dipakai dalam industri minyak. Hal yang paling menarik dari percobaan ini adalah setelah satu atau dua jam, mi instan ramen tidak mudah dipecah oleh usus dibanding dengan mi ramen yang dibuat sendiri.


Sumber :
Artikel : www.kompas.com

14 Agustus 2014

CINTA TERLARANG ELEKTRON

Elektron duduk termenung, sesekali ia kayuhkan kedua kakinya agar ayunan bergerak perlahan. Ayunan yang sering disebut orbital merupakan tempat yang paling Elektron sukai. Jadi siapapun orang yang ingin menemukannya langsung saja menuju orbital. Walau demikian, tidaklah mudah untuk bertemu Elektron di sana. Tapi setidaknya orbitallah tempat kemungkinan Elektron melepaskan penatnya ketika ia berada di rumah atom.



“Mengapa aku selalu ingat Proton?” keluh Elektron seraya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Apa yang salah dengan perasaan ini, tidak bolehkah aku tertarik padanya?” pertanyaan yang kesekian kalinya namun tak juga Elektron mengetahui jawabannya.

Elektron menatap jauh ke depan dan terhenti pada sebuah kamar yang biasa disebut nukleous. Tatapannya sarat dengan beban namun begitu tajam seakan ingin menembus dinding kamar dimana Proton berada.

“Seandainya aku adalah Neutron, pastilah hatiku sangat senang karena aku akan selalu dekat dengan Proton” gumamnya lagi.

Elektron tinggal di sebuah rumah mungil bersama dua saudara angkatnya. Para tetangga memanggil rumah mungil itu dengan sebutan atom. Elektron adalah anak tertua. Kelahirannya dibantu oleh om J.J Thomson pada tahun 1897. Semenjak dalam kandungan dia sering dipanggil dengan nama sinar katoda karena Elektron merupakan anak yang diperoleh melalui tabung sinar katoda dan perkembangannya selalu dipantau oleh om William Crookes. Setelah lahir, ia diberi nama Elektron seperti yang diinginkan om G.J Stoney. Beratnya ditimbang oleh om Robert Milikan ternyata hanya 9,11 x 10-28 gram. Adiknya yang pertama bernama Proton. Kelahirannya dibantu oleh om  E. Rutherford pada tahun1906. Dia lebih gendut dibandingkan Elektron karena massanya 1837 kali dari massa Elektron yaitu 1,673 x 10-24 gram. 
Pada tahun 1932, Elektron mempunyai adik kedua yang diberi nama Neutron. Om James Chadwick yang membantu kelahirannya. Dia hampir sama gendutnya dengan Proton karena massanya 1,675 x 10-24 gram.
Walaupun mereka bersaudara dan tinggal bersama dalam rumah atom tetapi karakter ketiganya berbeda. Elektron paling tidak suka berada di dalam rumah. Baginya dunia terasa sempit jika hanya memandang tembok-tembok yang memisahkannya dengan dunia luar. Berkeliling di halaman rumah lebih mengasyikkan, Elektron dapat berjalan-jalan di taman, memandang bunga-bunga yang berkembang dan menghirup keharumannya. Saat pagi tiba, mentari akan menyusupkan kehangatannya sehingga Elektron semakin bersemangat untuk terus beraktifitas. Biasanya, Elektron akan bersepeda melalui lintasan yang disebutnya sebagai orbit. jika dia merasa lelah maka Elektron beristirahat dalam orbital. Keaktifan Elektron dianggap perilaku yang negatif oleh keluarganya.
Lain lagi dengan kedua adiknya, mereka lebih suka di dalam kamar. Kamar itu mereka sebut dengan nucleus karena itulah mereka berdua dinamakan nucleon. Walaupun begitu, Elektron tahu jika Proton terkadang tertarik dengan aktifitasnya. Sehingga mereka sering mencoba bertemu untuk saling berbagi hati. Sedangkan Neutron dia sangat cuek. Apapun yang terjadi di dalam rumah atom, dia  netral-netral saja.
Bagi keluarga atom, sifat pendiam Proton merupakan sifat yang dianggap positif. Namun bagi Elektron, Proton mempunyai karisma yang membuatnya  terlihat sempurna dibandingkan Neutron. Adanya perbedaan karakter antara Elektron dan Proton membuat mereka saling tertarik. ketertarikan inilah yang membuat beban bagi keduanya karena semestinya itu tidak ada.

 “Aku mohon Proton, cobalah kamu mengerti perasaanku” kata Elektron.
“Maaf Elektron, tanpa kau katakanpun aku tahu perasaanmu karena akupun merasa demikian, tapi itu tak mungkin” jawab Proton setengah tersedu menahan tangisnya.
“Jikalau kita bersatu, maka takkan ada rumah atom lagi” lanjut Proton lirih.

Elektron terdiam, dia paham sekali tak mungkin Proton meninggalkan nukleous. tapi ia juga tak mungkin menghapus ketertarikannya pada Proton dengan mudah, Mengacuhkannya saja membuat rasa menjadi gundah. Apalagi harus jauh darinya, pastilah rindu itu ada. Rindu pada perhatiannya, rindu pada cerita manjanya, rindu dengan tatapan penuh rasa rahasia yang dalam.

“Ya sudahlah, biarkanlah perasaan ini tetap ada, toch aku masih bisa memandangmu meski tak mampu bersamamu” ujar Elektron kemudian.
“Kamu tahu Proton, hanya kaulah yang sering datang dalam mimpiku dan memang hanya menjadi mimpiku….” lanjut Elektron menegaskan apa yang dirasakannya selama ini.

Keduanya kini terdiam, diam oleh ketidakberdayaan akan sebuah perasaan yang entah kapan hadir diantara keduanya. Namun mereka paham, kebahagiaan tidak selalu harus menjadi satu tetapi saling mengingatkan ketika salah, memotivasi ketika lelah, memberikan nasehat bijak ketika gundah, semoga semuanya menjadi ajang untuk ibadah. Dari perbedaan inilah yang akan menjadikan mereka dalam satu-kesatuan di rumah atom sehingga mereka dapat menempati posisi, tugas dan fungsinya masing-masing demi berputarnya dunia yang indah.


Sumber :
Gambar diambil dari : http://static.republika.co.id/ uploads/images/detailnews/ ilustrasi_cinta_terlarang_ 100521080409.jpg

Artikel disalin dari : http://www.chem-is-try.org/

9 Agustus 2014

Dari Jogja Ke Phnom Penh Demi Menjelajah Kamboja

Siang itu masih bulan Mei 2014, kakiku terasa ringan meskipun menggendong ransel besar dan berat.... Lalu lintas di jalan Solo-Jogja terasa lengang ketika diriku menuju Bandara Adi Sucipto. Pada kesempatan kali ini, aku berkesempatan melakukan perjalanan tunggal (solo traveling) yang sudah menjadi cita-cita semenjak SMA mungkin, berkeliling Asia Tenggara. Pilihan ber-backpacker-ria sendirian sudah kupikirkan masak-masak dan telah daku kalkulasi sedetail mungkin. 


Banyak alasan mengapa aku melakukan perjalanan sendiri. Ketika kita sendirian, kita akan belajar mengenal diri kita lebih baik, seperti kata RA Kartini, dengan membantu (mengenal) diri sendiri, kita akan membantu orang lain lebih baik... (he4, sok filsuf). Kemudian dengan pergi sendirian, kita akan mempu mengatur tujuan pribadi, pengeluaran pribadi hingga lama waktu tinggal dan pergi terserah kita. Kita tidak perlu menunggu teman, tidak butuh persetujuan orang lain, dan nikmatnya itu kita bisa sepuas mungkin berada di lokasi favorit kita tidak perlu berfikir ego temen kita...he4, yah mungkin saya sudah sering backpacker-an dengan banyak teman, dan saya rasa tidak terlalu menantang...he4
Demi perjalanan ini, saya rela selama setahun tidak cuti. Dengan begitu, saya bisa mengambil cuti selama 12 hari jatah cuti dari tempat bekerja untuk saya ambil sekaligus. Meskipun beraktifitas di Jakarta, namun aku memilih berangkat dari Jogja. Selain pulang kampung, tiket pesawat dari Jogja lebih murah karena promo. Tiket dari Jogja ke Phnom Penh seharga 420 ribu perak terbeli setahun yang lalu, bayangkan ketika dari Jakarta  bisa tiga kali lipat harganya. 


Sampai di bandara Adi Sucipto sekitar pukul 3 sore, karena jadwal boarding jam 6 sore. Pengalaman penting bahwa kita harus datang jauh lebih awal akan sangat membantu kita. Pengalaman pahit terjadi ketika saya di Bandara Attaturk di Istanbul datang 1 jam sebelum jadwal boarding. Tanpa terduga sebelumnya, antrian check in panjang mengular dan waktu satu jam jauh dari kata cukup. Apesnya lagi, gate pesawat saya ada di paling ujung dan waktu tinggal 10 menit, alhasil saya lari-larian dan susah payah... sampai di gate basah karena keringat, menyebalkan, untungnya di sambut pramugari yang ehem..., yah cukup terobati.
Bandara Adi Sucipto sangat sibuk, terlalu sibuk dan padat mungkin untuk ukuran bandara Internasional kecil. Dari fasilitas, bandara Jogja jauh kalah dari tetangganya Adi Sumarmo di Solo. Gedung bandara lumayan compang-camping. Yah saya maklum, akan ada bandara baru yang kabarnya keren yang akan menggantikan Adi Sucipto.
Saya masuk pesawat pukul 17.45. Menumpang Tiger Air adalah yang pertama bagi saya, pilihan maskapai dalam negeri menjadi pilihan tentu. Namun ke Phnom Penh, saya relakan dengan maskapai asing karena tidak ada tujuan ke sana.


Kalo dilihat, interior pesawat lumayan... setara lah dengan Lion Air atau Sriwijaya. Jenis pesawatnya pun sama Boeing 737 900 ER. Tepat Pukul 18.00 pesawat lepas landas, perjalanan di mulai... tantangan di negeri seberang telah menunggu untuk di tempuh. Bismillah...
Pukul 20.00 waktu setempat, pesawat mendarat di bandara Cangi, salah satu bandara representatif di dunia yang konon pesawat-pesawat Indonesia yang akan melintas di sekitar Singapura juga di atur dari sini.
Ini pengalaman transit yang cukup lama selama 9 jam, dimana pukul 6 esok pagi pesawat kembali berangkat menuju Phnom Penh. Ternyata dengan maskapai Tiger Air ini kita tak perlu lagi check in ulang karena ada fasilitas Tiger Conect, atau jika kita mau jalan-jalan keluar bandara, kita bisa check in kapanpun tanpa harus menunggu 2 jam sebelum keberangkatan. 



Bosen mau ngapain, saya sempatkan jalan-jalan keluar bandara dengan MRT dengan tiket 1,25 dolar Singapura dan turun di Raffles Park, yang tidak beberapa jauh dari Merlion Park. Yah, begitulah Singapur... rapi, tertip dan bersih...jangan bandingin ma Jakarta deh.



Tapi kalo masalah keindahan, Singapur ma gak ada levelnya dengan Indonesia. Di sini hanya ada gedung membosankan, layak pastinya bagi penikmat wisata belanja yang emang ga sesuai dengan saya...he4


Setelah muter-muter hampir satu jam, saya putuskan kembali ke Cangi untuk nginep. Ini juga merupakan fasilitas Tiger Air, ada tempat khusus transit jadi kita bisa tiduran atau main internet di Bandara. Hilanglah rasa bosan saya di sini. Untuk sholat juga khawatir, ada fasilitas mushola juga. Pokoknya ngirit budget dan nyaman. Untuk makan, tak perlu khawatir, terdapat food court dimana-mana dan semacam minimarket dengan makanan murah, dan keran minum gratis juga di mana-mana. Tak perlu khawatir kelaparan di Cangi.
Pukul 5 pagi saya sempatkan mandi dan shubuh di bandara Cangi. Kemudian, jam 6 tepat pesawat meluncur ke Phnom Penh.