Pesta politik rutin 5 tahunan di
Republik Indonesia tahap pertama telah menghasilkan fakta menarik dalam bidang
legislasi. Pertama adalah banyaknya perubahan wajah baru di DPR RI yang
menggantikan wajah lama. Orang lama macam Roy Suryo dan Sutan Batoegana tidak
lagi masuk dalam daftar legislator yang melenggang ke Senayan yang notabene
bernomor urut satu dalam dapil mereka. Mereka tidak dipercaya lagi mewakili
rakyat di dapil mereka. Banyak penyebabnya, namun tentu saja image partai yang jatuh di mata
konstituen. Partai yang menaungi mereka sebut saja Demokrat, jauh panggang dari
api dalam menjalankan visi dan misinya, “katakan tidak pada(hal) korupsi”.
Hal lain yang menarik di cermati
adalah permasalahan di Partai Kebangkitan Bangsa. Setelah ramai mengusung “sang
satria bergitar” sebagai calon Presiden tunggal dari partai tersebut,
belakangan manuver “kelicikan” Cak Imin selaku ketua umum mulai nampak. Efek
dahsyat Rhoma Irama untuk partai begitu signifikan. Setelah di tinggal sang “symbol”
KH. Abdurahman Wahid, sepertinya partai tersebut telah kehilangan roh, baik
pergerakan maupun perjuangan. Sakit hati pendukung Gusdur atas dilengserkannya
beliau dari PKB serasa menyayat para Gusdurian. Namun sudah menjadi tabiat
masyarakat Jawa Timur dan para Nahdliyin, mereka seperti tak ingat apa yang
telah dilakukan pengurus baru terhadap sang pendiri partai. Lupa mungkin, namun
kedatangan tokoh baru lebih masuk akal. Kedatangan dua tokoh baru yaitu Rhoma
Irama dan Mahfud MD yang digadang-gadang masuk bursa capres dari partai
tersebut nampaknya memberikan nafas baru buat PKB. Benar saja, kini PKB
memiliki suara 9% dan memiliki daya tawar yang kompetitif dalam koalis menuju
RI 1.
Namun, lagi-lagi politik,
penipuan selalu saja muncul. Lihat saja gerak-gerik partai itu sekarang,
berdalih menggunakan management internal mereka mencoba membuang dan
menenggelamkan peran sang pendongkrak suara siapa lagi kalo bukan “sang satria
bergitar”. Alasan mereka memang kuat, bahwa ada kontrak politik jika suara PKB minimal dari 15% dalam legislatif,
barulah sang Raja Dangdut akan di perjuangkan menjadi RI 1. Ah…, kenapa bung
Rhoma tak belajar dari sejarah, tokoh se-karismatik Gusdur aja diterjang dan
dibabat mereka, apalah jadinya Rhoma?
PKB nampaknya sadar kalo Rhoma
memang tak memiliki kompetensi dan daya tawar yang cukup hingga mampu meraih kursi
RI 1, maka dibuatlah kontrak tak masuk akal itu. Tapi dibodohi seperti itu,
tetap saja Raja Dangdut itu terperosok masuk dalam perangkap. Seperti kerbau
dicocok hidung mungkin. He4, ah nafsu menjadi penguasa memang bisa membutakan
hati dan pikiran. Perjudian besar telah dilakukan bung Rhoma, namun kini
setelah perannya menaikan suara PKB di DPR RI berhasil dengan signifikan, ada
bau pemenggalan peran. “Cukup di sini ajah yah bang…” mungkin itu yang ada di
benak Cak Imin serta pengurus pusat PKB (sambil tertawa lantang tentu saja).
Lantas kemana arah pergerakan PKB
pasca pemilu legislatif? Ah… mudah saja ditebak, karena tak pernah merasakan
menjadi oposan sejati mereka lantas mendekati sang pemenang pemilu. Bau-bau
moncong putih sudah menyeruak di kantor pusat PKB. Tengok saja, komunikasi
intensif dengan Jokowi sudah gencar. Dengan suara begitu besar, mana mungkin si merah mampu
menolak. Dan jelas, beberapa kursi menteri akan diberikan sebagai kompensasi
dukungan, nah pastilah Ketua Umum mendapat jatah untuk meneruskan kekuasaanya
duduk di Istana, walapun saat menjadi menteri Tenaga Kerja nir prestasi.
Jangankan prestasi, kerjanya saja tak tahulah awak. Tengok saja kasus banyaknya
tenaga kerja illegal, ancaman hukuman mati, terus masih ingatkah kita dengan
kasus ratusan TKI yang terlantar di kolong jembatan di Jeddah sampai Cak Imin
tak tahu meskipun sedang kunjungan kerja di konjen RI. Sungguh sebagai sarjana
teknik, nampaknya tak ada kemampuan menangani pekerja, namun apa boleh buat
sang presiden waktu itu tak bisa menarik amanah karena sudah menjadi kompensasi dukungan.
Setelah tahu rencana akal bulus
para pengurus pusat PKB, kini Sang Satria Bergitar mengancam akan mencabut
dukungan dari PKB. Ah… begitu ironis dan seperti sinetron-sinetron kejar
tayang. Sebuah akhir yang mudah saja ditebak. Ancaman bung Rhoma tak bakal di
gubris, “mau dukung kek, mau enggak kek, mau jungkir balik kek, gue harus
bilang waw gitu?” mungkin itu yang ada di benak pengurus pusat PKB. Apapun yang
dilakukan Rhoma kini tak akan berpengaruh banyak, karena tujuan sejati dari PKB
memang tidak untuk memenangkan pemilu apalagi mendapat RI-1. Sayang sekali,
karena bung Rhoma sadar belakangan hanya diperalat oleh PKB. Yah apa mau di
kata, modal sudah keluar banyak namun nyesek dan mak jlep karena kini hanya
dipandang sebelah mata.
Ada sebuah pembelajaran menarik
dari kasus Sang Satria Bergitar, politik memang kejam dan kualitas memang tak
pernah bohong. Yah, bang Rhoma nampaknya harus kembali ke jatidirinya menjadi
penyebar dakwah melalui music. Jangan sampai setres nanggepin para sengkuni
yang memanfaatkan ketenarannya, “tiwas kecelik”. Ah, politik… kejamnya dikau,
sakitnya melebihi penolakan seorang gadis terhadap lelaki yang telah dimabuk
cinta… T.T (tahulah maksud saya).
Muhaimin licik ,pandai memamfaatkan orang lain, kemudian dibuang,,
BalasHapusHem.. Gusdurian kah? He4
BalasHapus