Masa
kecil merupakan masa terindah, tak terelakan bagi penulis sendiri. Saya yang
asli Sragen Jawa Tengah, merasa bersyukur dilahirkan di tengah pedesaan yang
indah dan rindang dengan pepohononan. Kegiatan sehari-hari tak jauh dari
bermain. Berenang menjadi agenda rutin, maklum saja rumah dekat dengan sungai
terpanjang di Jawa, Bengawan Solo. Tak ada hari tanpa berenang atau “ciblon” dalam bahasa lokal. Selain
berenang, mencari ikan juga tak ketinggalan. Masih ingat dalam kenangan,
bagaimana waktu itu “sosok”, “ikrak”
ataupun “jaring” menjadi perlengkapan
wajib tiap minggu pagi. Jika sedang musim hujan, dimana ikan dan berenang
menjadi tak menarik (takut banjir), maka mencari burung adalah kegiatan yang
tak kalah asiknya. Yang paling menarik adalah senjata yang teramat sacral bagi
kaum pemburu burung, yaitu “plintheng”.
Ketapel mungkin lebih dikenal di nusantara. Alat ini digunakan untuk
melontarkan batu guna menembak sasaran
yaitu burung-burung malang. Tak jarang jika meleset, maka batu itu akan
mengenai rumah penduduk, sialnya kita bakal dilaporkan ke orang tua karena
tingkah kita itu.
Burung-burung
ini kini semakin langka, bahkan di daerah asalnya, dimana saya tinggal.
Bagaimana waktu itu kita dengan mudahnya menemukan burung macam Perenjak Jawa,
Wiwik atau Gaok. Burung-burung ini spesial. Karena secara tidak langsung
memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat di Jawa. Mengenai
burung-burung ini, sekilas penulis akan mengulas. Ada beberapa burung khas yang
menjadi endemik di Jawa dan mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa mitos.
Gambar 1 : Burung Perenjak Jawa
Burung
pertama yang adalah burung Perenjak Jawa (Prinia
Familiaris). Burung ini sangat terkenal dengan suara yang tiada duanya.
Jika burung ini mengoceh di depan pintu maka diartikan pertanda akan ada tamu, akan
ada kebakaran atau akan ada rezeki tak terduga. Sejauh ini hubungan burung
dengan berbagai kejadian atau fenomena alam itu memang tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah. Meski kenyataanya memang sering terjadi, kicauan Perenjak di
depan rumah diikuti dengan kedatangan tamu beberapa saat kemudian, tetap saja
itu bukanlah pembuktian yang sahih.
Toh,
banyak rumah lain yang tidak didatangi perenjak juga ada tamu. Ini artinya,
segala teori yang menghubung-hubungkan perilaku burung dengan berbagai kejadian
itu hanya sebatas mitos, atau kepercayaan yang diyakini bersama oleh masyarakat
tanpa ada pembuktian secara ilmiah.
Perenjak
Jawa termasuk suku Silviidae yang
biasa hidup di hutan bakau dan areal terbuka terutama di kebun. Burung yang umumnya berwarna cokelat,
kuning, dan hijau ini sangat lincah
memburu mangsa diantara dedaunan. Ukuran tubuhnya sekitar 13 cm dengan sayap
bergaris putih khas serta ekornya hitam putih. Sementara itu, tubuh bagian atas
cokelat sampai kehijauan, dengan tenggorokan dan dada tengah putih. Selain
perenjak Jawa, yang termasuk dalam suku ini adalah Perenjak Gunung (Prinia atrogularis), Perenjak Padi (Prinia inornata) dan Perenjak Rawa (Prinia flaviventris). Diantara kelima
spesies ini, Perenjak Jawa adalah yang paling terkenal di kalangan masyarakat
Jawa, karena suaranya keras dan khas itu banyak diartikan sebagai pertanda
berbagai hal dalam kultur Jawa.
Suara
“cwuit-cwuit-cwuit..”-nya bisa
menjadi pertanda kejutan yang menyenangkan. Namun, konon suaranya juga bisa
berubah menjadi “hiii-hiii-hiii”.
Memang, umumnya perenjak bersuara ribut bersama kawanannya saat mencari mangsa
di tanah sampai pucuk pohon.
Burung
kedua adalah burung Wiwik (Cacomantis
merulinus). Suara burung ini kadang kala memang membuat bulu kuduk berdiri.
“Hiii-tiii-ti, ti, tir-ri-ri-ri.
Hiii-tiii-ti, ti, tir-ri-ri-ri!” Mula-mula naik nadanya, kemudian turun
ketika memekik “tir-ri-ri-ri-ri”.
Konon suara itu adalah pertanda bahwa sebentar lagi malaikat maut akan datang,
tepat di tempat si wiwik tadi memekik.
Gambar 2 : Burung Wiwik
Kicauan
wiwik sebenarnya tidak perlu ditakuti karena suaranya tergantung pada suasana hatinya
sendiri. Nada suaranya rendah, murung, seperti orang kecewa : “pi-u-wit..pi-u-wit”
biasanya muncul disaat hujan. Sementara disaat cerah dan pakan melimpah, maka
dia akan sangat senang dan nadanya pun riang : “ti-ti-tuit, ti-ti-tuit, ti-ti-tuit”. Nyanyian hati yang
berbunga-bunga ini diteriakan sampai berulang kali hingga membuat gemas
pendengarnya.
Burung
ketiga adalah burung Gawok, burung terakhir ini juga ketiban rezeki sebagai
peramal maut yang ulung. Dahulu kala, ketika gaok hitam berkaok-kaok di
sekitaran rumah, pasti pemilik rumah jadi ketakutan karena akan segera menemui
ajal. Teriakan rendah dan berat : “aaa-ok,
aaa-ok” pun jadi mimpi buruk penduduk.
Gambar : Burung Gaok
Mungkin
satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah gaok hitam memang paling akrab
dengan bangkai. Begitu ada bangkai, rombongan gaok akan langsung datang
berbondong-bondong mengerubuti bangkai itu. Jadi, kedatangan gaok
diperkampungan atau sekitar perumahan diindikasikan sebagai ramalan bahwa di
tempat itu ada atau bakal ada makhluk yang jadi bangkai. Alhasil, semua orang
ketakutan dijempul el-maut dan mengusir-usir si gaok agar jauh-jauh dari
rumahnya.
Cerita
tentang raja-raja mitos ini memang taka da habisnya. Namun alih-alih
memperpanjang perkara mitos ini yang tiada hentinya itu, lebih baik menambah
pengetahuan kita tentang khasanah burung
Nusantara yang unik. Mitos boleh
terus melegenda dalam masyarakat, tapi ornitologi harus terus berkembang dan
jangan terpaku pada mitos tanpa pembuktian ilmiah.
Sumber :
Gambar 1 : http://2.bp.blogspot.com/ -rTyqAUMBK_o/ UA_zOUUbP3I/AAAAAAAAAW8/ oiphCEm1Ze0/ s1600/ burung+prinjak.jpg
Gambar 2 :http://alamendah.files.wordpress.com/2011/09/ wiwik-kwlabu-kedasih- cacomantis-merulinus.jpg
Gambar 3 : http://gambaraneh.16mb.com/wp-content/uploads/2012/04/gaok-2.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...