30 Oktober 2014

Pedagang Yang Berkaki Lima

Saya tersenyum terheran-heran beberapa waktu yang lalu ketika membaca sebuah artikel Sydney Morning Herald tentang pedagang kaki lima di Indonesia. Metthew Moore, wartawan koran tersebut, menggambarkan bagaimana seorang wiraswasta bule, Benjamin Whiteker, sedang berkompetisi dengan penjaja makanan asli di Jakarta. Whitaker, lulusan Wharton School of Bussiness di Philadelphia, percaya bahwa para konsumen di Jakarta pasti tertarik kepada hamburger ala Amerika kalu disajikan di pinggir jalan seperti sate atau bakso. Ia sudah membikin sejumlah kereta beroda dua yang dilengkapi dengan alat masak serba modern.


Yang membuat saya tersenyum adalah definisi Moore tentang kereta itu, yang dipaparkannya dengan penuh keyakinan. "Kaki Limas" or five legs is the name given to the hundreds of thousands of mobile food stalls that line the streets and are so count those of operators ("Kaki Lima" atau lima kaki adalah nama yang diberikan kepada ratusan ribu warung makanan beroda yang berada di tepi jalan dan diberi nama tersebut sebab, dari jauh, kereta itu memberi kesan berkaki lima kalau kaki penjaja ikut dihitung).
Seharusnya saya tidak merasa terlalu heran. Sejak lama, hampir setiap kali ketika saya membaca artikel dalam bahasa Inggris tentang pedagang kaki lima, artikel tersebut mengandung definisi yang mirip dengan definisi Moore. Yang mengherankan mungkin, pertama, bahwa definisi itu diulang oleh Sydney Morning Herald, koran yang seharusnya lebih mengerti Indonesia. Kedua, bahwa definisi itu bisa bertahan begitu lama dan diulangi di mana-mana meskipun jelas tidak masuk akal dan mengada-ada.
Kereta yang bersangkutan biasanya beroda dua (roda jelas bukak kaki) dan hanya "berkaki" satu, yaitu tiang penopang yang membuatnya stabil. Lagi pula, apa hubungannya antara "kaki" yang dimiliki oleh kereta dan kaki penjaja? Hampir mustahil membayangkan bahwa sebutan kaki lima (selalu disebut begitu dalam bahasa Inggris, tanpa pedagang) akan berasal dari dua kaki manusia, dua roda dan satu tiang penopang.
Mengapa selama ini tanpaknya belum ada orang Indonesia yang menjelaskan bahwa sebutan yang sebenarnya adalah pedagang kaki lima, buka kaki lima saja, dan bahwa kaki lima adalah nama lain buat trotoar atau sidewalk? Atau mengapa orang asing sendiri tidak menelusuri asal-usul istilah ini lebih jauh?
Tanpa menelusuri apapun, orang asing yang pernah mengunjungi negeri jiran seharusnya mahfum. Misalnya, di Singapura anda bisa makan di sebuah warung di Chinatown yang bernama Five Foot Way bisa dirunut  kepada Sir Stamford Raffles pada abad ke-19 yang menentukan bahwa semua gedung yang didirikan harus membangun pula sebuah trotoar yang lima kaki lebarnya untuk memberi perlindungan dari hujan dan terik matahari.
Pertanda apa, daya tahan yang lama sekali dari definisi yang salah ini? Salah satu kemungkinan adalah bahwa para wartawan asing tidak fasih berbahasa Indonesia. Kedua, mereka sangat bergantung kepada arsip koran mereka. Kesimpulan ini diperkuat oleh kasus lain yang jauh lebih penting. Yang saya maksudkan adalah peliputan media asing yang menyangkut pembunuhan massal orang komunis dulu. 
Di arsip majalan seperti Time dan Newsweek tertera kesimpulan bahwa ratusan ribu orang dibunuh pada tahun 1965-1966 adalah orang Tionghoa. Yang sebenarnya dibunuh pada waktu itu tentu pengikut PKI, yang sebagian besar bukan orang Tionghoa. Sejak itu wartawan asing yang menulis tentang konflik politik (misalnya, ketika pemerintah Orde Baru tumbang) selalu mengacu kepada "pembunuhan massal orang Tionghoa" pada tahun 1965-1966.
Seandainya kesalahan ini, yang amat mengganggu pengertian orang di luar tentang sejarah Indonesia, bisa dikoreksi, kiranya kita bisa memaafkan pers asing dalam hal ini tafsiran kaki lima yang bukan kaki dan tidak berjumlah lima.

Gambar diambil dari :
http://assets.kompas.com/data/photo/2014/03/03/1016526PKL780x390.jpg
Pustaka : RW Liddle, Kolom Bahasa Kompas, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...