3 Juli 2014

Menghindari Kata Tabu

Dalam rapat kerja para guru besar UI untuk menyusun pedoman dasar dalam pengusulan guru besar, berulang kali terucap kata butuh atau berbagai bentuknya : kebutuhan, dibutuhkan, membutuhkan. Namun, setiap kali pula muncul keberatan dari mereka yang merasa berasal dari lingkungan budaya Melayu karena kata itu dalam bahasa pertama mereka memiliki pengertian yang dianggap kurang sopan. Ternyata memang dalam berbagai bahasa Melayu kata butuh bermakna “kemaluan laki-laki”. Padahal, di daerah Purworejo, Jawa Tengah, ada kecamatan bernama Butuh!


Hingga saat ini keberatan atas pemakaian kata butuh itulah yang paling banyak diperhatikan. Artinya, walaupun kadang-kadang disertai dengan senyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak, penghindaran kata itu cukup berhasil. Demikian Juga dalam rapat kerja itu. Akhirnya disepakati yang digunakan adalah kata keperluan yang menurut riwayatnya merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Upaya menghindari pemakaian kata atau istilah yang konotasinya kurang baik, apalagi yang langsung terasa jorang “porno”,merupakan sesuatu yang terpuji. Namun, masalahnya, apakah itu senantiasa dilakukan mengingat banyaknya bahasa di Indonesia. Jika ada kata yang dalam bahasa tertentu berkonotasi baik, apakah ada jaminan dalam bahasa lain juga sama? Kata butuh yang di Jawa sampai menjadi nama kecamatan merupakan contohnya.
Pernah seseorang kawan ketika berceramah di pedalaman Kalimantan Selatan disambut senyuman yang kemudian pecah dalam derai tawa. Ia berbicara mengenai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Petani tentu tidak dapat melepaskan diri dari salah satu alat utamanya, pacul.  Sebagai orang Sunda, kebetulan ketika itu ia lupa bahwa dalam bahasa Indonesia alat itu disebut cangkul. Ternyata reaksi spontan yang diterimanya mula-mula senyuman, lalu derai tawa dan teriakan, “betul, Pak, pacul memang alat utama kita…!”
Di samping gembira karena ceramahnya ditanggapi dengan antusias, kawan itu terheran-heran mengapa tanggapan mereka demikian meriah. Ia kemudian bertanya kepada anggota penitia yang orang Banjar. Kawan itu akhirnya juga tergelak setelah diberi tahu bahwa kata pacul yang dalam bahasa setempat berarti “kemaluan laki-laki”. Maka, kata pacul  yang dalam bahasa Sunda bermakna baik-baik saja itu harus dihindarkan pemakaiannya di lingkungan penutur bahasa di Kalimantan Selatan.
Kita perlu bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapapun gembiranya, tidak akan mau bertempik sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya kata tempik  dalam bahasa Jawa bermakna “kemaluan perempuan”. Artinya, kita boleh saja bertempik sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa. Padahal, kata tempik  dalam bahasa Melayu berarti “sorak”, dan tempik sorak  semacam kata majemuk yang berarti “bersorak-sorak” atau “bersorak-sorai”.
Ketika seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut dengan momok, hadirat pun senyum dikulum, lalu cekikikan. Sambil berbisik diantara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam Bahasa Jawa sebagai "hantu” itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa Jawa, yaitu “kemaluan perempuan”.
Maka, ketika seseorang yang berasal dari Garut dalam lama mengembara di Jakarta pulang kampong lalu memancing bersama dengan (calon) mertua, kata yang keluar untuk mengatakan kegembiraan adalah mek yang ia peroleh selama di rantau. Ketika kailnya disanggut lele, ia berseru, “Lele, mek…!” Juga demikian ketika termakan kailnya ikan bogo “gabus” atau juga kancra “ikan emas”, ia berseru “Bogo, mek…!” atau “Kancra, mek…!” Namun, ketika makan umpannya seekor gurame, teriakannya berubah menjadi, “Guramey, euy..!” 

Gambar diambil dari : http://1.bp.blogspot.com/-WugTSWsc92I/TbY-XqXIfjI/AAAAAAAAAAQ/ DE9f8G_AO1s/ s1600/diam.jpg

6 komentar:

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...