“Manusia hidup dengan malu dan
kebaikan bagai dahan yang montok sepanjang punya kulit. Tidak, demi Alloh, tak
ada kebaikan dalam hidup apabila hilang rasa malu dari dunia”
Demikian
ungkapan seorang penyair Arab, Abu Tamam, mengenai keharusan merawat sifat malu
di dalam dada manusia. Kecakapan seseorang mempertahankan rasa malu,
mengindikasikan keunggulan iman melawan nafsu durjana. Sedangkan kerapuhan iman
akan tampak pada tercabutnya sifat malu dari pribadi seseorang.
Malu,
dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-haya
yang berakar dari kata al-hayat, artinya
hidup. Al-haya ini juga bisa
digunakan untuk arti hujan yang turun, kerena dengan hujan akan terjadi
kehidupan atau kesuburan pada tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang. Orang yang
memiliki sifat malu dianggap memiliki hidup dan kehidupan, adapun menusia yang
kehilangan sifat malu seolah-olah ia tidak hidup atau mayat walaupun bernyawa
dan bergerak.
Di
antara perbedaan asasi antara manusia dan binatan, selain terletak pada
kemampuan akalnya, juga terletak pada kepemilikan rasa malu. Seekor binatang
seperti kuda contohnya, berlari-lari dengan tubuh telanjang menarik delman yang
dipenuhi muatan, di sepanjang jalan. Sesekali kencing atau berak. Tapi karena
tidak dibekali sifat malu, kita tidak akan melihat mimik memerah pada muka sang
kuda. Namun sekali lagi, itu lumarah dan wajar bila terjadi di dunia binatang.
Perbedaan manusia dan binatang ini harus tetap dijaga dan dipertahankan agar
manusia tidak kehilangan identitas sebagai makhluk yang beretika. Tatkala
pola-pola perilaku binatang telah diikuti dan dicontoh bangsa manusia, maka
hakikatnya manusia telah mengalami kemerosotan moral yang mengkhawatirkan.
Untuk itu, para nabi dan rasul terdahulu mengingatkan umatnya agar senantiasa merawat dan memupuk rasa malu
Sebenarnya
rasa malu merupakan sesuatu yang inheren (melekat) pada diri manusia normal
tanpa kecuali. Namun demikian rasa malu ini bisa terkikis sedikit demi sedikit
sehingga pada gilirannya hilanglah rasa malu tersebut.
Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan bahwa seseorang yang sudah tidak memiliki rasa
malu tak ubahnya seonggok daging dan darah yang tidak mempunyai kebaikan
apapun. Oleh karenanya, secara mutlak seluruh kaum muslimin harus dengan serius
merawat dan memupuk rasa malu kepada Allah dalam setiap gerak langkahnya.
Sekurang-kurangnya, ada dua strategi yang bisa digunakan untuk merawat sifat
malu ini.
Pertama,
menumbuhkan sifat ihsan.
Ihsan
adalah kesadaran jiwa bahwa Allah terus menerus melihat, mengawasi dan
mengetahu setiap aktifitasnya baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Seorang muhsin (orang yang berlaku
ihsan) merasakan betul sifat Allah sebagai Al-Bashir
dan Al-‘Alim, sehingga tidak akan
merasa tenteram mengerjakan suatu dosa walaupun sebesar biji dzarrah. Rasulullah menjelaskan sifat
ihsan sebagai berikut :
“Ihsan adalah engkau beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkai tidak melihat-Nya,
maka sesungguhnya Allah Maha melihatmu.”
Sikap
ihsan inilah yang menyelematkan Yusuf ‘alaihis salam dari syahwat yang
ditiupkan iblis saat dipaksa Siti Zulaikha melakukan perbuatan zina dirumah
yang sunyi sepi. Saat itu Zulaikha mengambil sehelai kain dan menggunakannya
untuk menutupi patung yang terdapat di kamar karena merasa malu, maka Yusuf pun
berkata,
“bagaimana engkau ini, engkau
merasa malu oleh benda padat yang buta dan tuli. Tetapi mengapa engkau tidak
malu kepada pengawasan Allah yang Maha Melihat?”.
Sejujurnya
sebagai laki-laki normal, Yusuf menyukai Zulaikha, tetapi sikap ihsan yang
tertanam di sanubarinya telah mampu mencegahnya dari suatu perbuatan yang
sangat dimurkai Allah.
Kedua,
meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat.
Hilangnya
rasa malu dalam diri seseorang tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba,
tetapi melalui tahapan dan proses yang bisa jadi memakan waktu sangat lama.
Barangkali saat pertama kali seseorang melakukan suatu dosa, walaupun bukan kategori dosa besar, tapi ia sangat
malu, merasa tidak nyaman, dan ketakutan yang membuat keringat bercucuran.
Namun bila perilaku dosa itu dikerjakan secara terus menerus dan
berulang-ulang, maka bertahap, pelan tapi pasti ia akan menikmati, merasa
nyaman dan menganggap wajar dosa tersebut. Jadilah ia seorang yang binasa.
Rasulullah
SAW bersabda;
“Sesungguhnya Allah jika hendak
membinasakan seseorang, dicabutlah dari orang tersebut rasa malu.” (HR.
Ibnu Majah)
Kaum
muslimin bisa bercermin pada keluhuran akhlak orang-orang shaleh terdahulu.
Mereka berupaya sekuat tenaga menjauhi dosa-dosa, tapi tetap mempunyai rasa
malu yang luar biasa sehingga merasa paling hina serta paling banyak dosanya
dihadapan rekan-rekan lainnya.
Kepekaan
orang-orang shaleh terdahulu terhadap dosa memang logis, karena dosa yang
dikerjakannya hamper tidak ada, sehingga apabila faktor ketidaksengajaan, akhirnya
mereka terjerembab ke dalam dosa, mereka sangat merasakan sakitnya. Sebagaimana
Sa’id bin Zubair menuturkan; “Orang yang luka karena dosa, bila ia teringat
akan dosanya, maka ia memandang kecil amal yang telah diperbuatnya.” Sedangkan
di pendosa, ia ibarat mayat atau bangkai, walaupun tubuhnya banyak luka yang
menganga, tetap tidak merasakan pedihnya. Wallahu
A’lam
Perumahan Baru Gading Terrace
BalasHapusmahal...he4
Hapusada diskon g pak?
Artikelnya keren niih
BalasHapusjika ada yang berminat info properti silahkan klik
perumahan di denpasar
perumahan tanpa dp di bekasi
mkasih....
Hapus