Nikmat
Allah SWT atas keindahan dan kesuburan Nusantara merupakan amanah yang harus
dijaga demi kemaslahatan rakyat. Sebuah amanah yang berat karena Indonesia
memiliki lebih dari 18 ribu pulau yang tersebar dari Sabang Nangroe Aceh
Darussalam hingga Merauke di Tanah Papua.
Namun
setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa belum sepenuhnya dengan baik
menjalankan titah Tuhan. Salah satu potret ketimpangan sosial terjadi di Pulau
Sangiang. Pulau ini merupakan salah satu potret diskriminasi yang ada di negeri
ini. Tanah yang subur dan perairan yang kaya akan sumberdaya alam nyatanya
tidak membuat masyarakatnya makmur namun justru jatuh ke dalam jurang
kemiskinan.
Banyak
faktor penyebab Sangiang yang dulunya sempat direncanakan sebagai kasino oleh
Tomy Suharto ini terpuruk. Faktor utama adalah adanya sengketa antara warga dan
pengusaha swasta yang memiliki klaim penggunaan pulau Sangiang dari pemerintah.
Pemegang legalitas yaitu pemerintah daerah juga abai, karena merasa warga Sangiang
hanyalah pendatang dan tidak memiliki hak atas tanah di pulau ini. Namun mereka
telah secara turun temurun menempati wilayah ini sejak zaman penjajahan
Belanda, jauh sebelum Proklamasi. Karena bukan dianggap sebagai warga sah maka
akses pendidikan dan kesehatan terabaikan. Bayangkan saja, pulau yang dihuni
ratusan kepala keluarga ini tak memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan
yang layak, alhasil jika ingin berobat mereka harus menempuh sekitar 2 jam
menuju daratan utama. Diskriminasi di bidang pendidikan juga sangat terasa,
bagaimana anak-anak usia sekolah harus merantau meninggalkan rumah demi
sekolah. Anak-anak yang seharusnya masih dalam buaian dan pengawasan bunda
harus hidup jauh merantau demi mendapat akses pendidikan. Jadi UUD 1945 hanyalah
isapan jempol di pulau ini, hanya wacana tanpa realita.
Hal
keji dan tak manusiawi juga dilakukan para pengusaha licik di pulau itu. Demi
melancarkan aksinya, pulau yang dulunya subur makmur, gemah ripah lohjinawi
kini tak lagi bisa diandalkan saebagai mata pencaharian, karena adanya babi
hutan liar yang sengaja dilepas oleh pengusa. Dampak nya begitu terasa, tanaman
pangan tak lagi bersisa, pertanian hancur lebur karena hama ini memiliki efek
destruktif. Babi ini juga mematikan mental warga, karena mereka menyerang dan
berbahaya sehingga di malam hari warga jarang keluar rumah.
Keprihatikan
dan kepedulian kita sebagai sesama muslim dituntut disini. Saudara kita di
Sangiang sangat membutuhkan perhatian. Bukan materi semata, lebih-lebih mereka
sangat membutuhkan semangat supaya mereka tidak kehilangan harapan.
Adapun wawancara dengan penduduk asli Pulau Sangiang bisa di lihat di channel berikut bersama reporter : Mutia Amsuri Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...