16 Maret 2015

Mitsaqan Ghaliza

Karena merasa jatuh cinta akhir-akhir ini, penulis tertarik menulis tentang pernikahan, he4… bukan apa-apa, tapi perasaan cinta kali ini berbeda, saya sangat serius, meskipun target belum memberi respon positif atau negative (semoga positif, amin). Karena ane gak punya channel buat ta'aruf (ngedeketin), jadi deh ane pake cara2 konvensional ala2 anak muda gitu (penulis emang anak muda), tapi emang susah kawan...Doi ni aktivis dan punya komunitas yang bakal susah di tembus orang awam kaya ane, tapi biarlah..., bukankah Allah yang menentukan, perjuangan harus sampai akhir, semoga Allah merahmati, amin. Kali ini kita akan bicara tentang sebuah kalilmat Mitsaqan Ghaliza, terima kasih sudah membaca.
Kalimat mitsaqan ghaliza atau “perjanjian yang kokoh”, “perjanjian yang agung”, “perjanjian yang berat” adalah kalimat yang sering kita dengar yang lazimnya dituturkan oleh seseorang saat memberikan nasihat atau pesan pernikahan. Kaum muda yang hendak menempuh hidup baru amat penting memahami tema yang satu ini, agar pernikahan yang akan dijalani tidak “sembarang” dan asal mendapat peresmian dari orang tua, keluarga atau negara.



Para qadi/penghulu dan alim ulama menganggap amat penting untuk menyebut dan menerangkan kalimat ini, sebab memang hakikat pernikahan di dalam Islam yang ditandai dengan ijab dan qobul itu adalah merupakan refleksi dari sebuah perjanjian yang kokoh antara hamba terhadap Allah SWT melalui tatacara pengucapan “janji suci” oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, dalam sebuah prosesi akad nikah.
Dalam surat An Nisaa termaktubkan untaian kalimat, “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu sebuah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza).” (QS.An Nisaa : 21).
Maka tidaklah salah manakala kita kemudian menganggap bahwa sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan perempuan secara sah itu menjadi sesuatu kejadian amat sacral. Sakral bukan pada suasana kejadiannya yang biasanya menghadirkan nuansa yang penuh keharuan, akan tetapi menjadi sacral lantaran terjadi karena adanya perjanjian antara seorang laki-laki terhadap perempuan yang dinikahinya yang dilakukan secara imani dengan “mengatasnamakan Allah” Yang Maha Tau, lagi Maha Melihat.
Konteks kalimat mitsaqan ghaliza di dalam Al Qur’an terbaca sebanyak tiga kali dalam tiga fase kejadian atau peristiwa yang berbeda-beda, yakni Satu, sebagaimana dalam prosesi akad-nikah. Dua, perjanjian yang Allah ambil dari para Ulul Azmi dalam mengemban amanah penegakan (idzarul) Ajaran Allah.
Dalam Al Qur’an dinukilkan, “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambildari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. AL Ahzab : 7).
Dari ayat di atas ini kita dapat mengetahui betapa para rasul yang mendapat julukan ulul azmi berkat ketabahan dan keuletan yang luar biasa dalam melaksanakan tugas-tugas dakwahnya, adalah rasul-rasul yang sedemikian kuat dalam meneguhkan dirinya dalam menjalankan misi pengembanan Risalah Allah di muka bumi pada zamannya masing-masing. Pada kelima Rasulullah itu, masing-masing menghadapi situasi yang amat keras dengan tingkat perlawanan dari kaum yang didakwahi juga sedemikian hebat. Namun mereka berhasil menjalankan misi berkat keteguhan hati dan kualitas keimanan yang tinggi. Dari penyikapan pada rasul ulul azmi itu Allah pun mengangkat perjanjian yang teguh dari mereka.
Tiga, perjanjian dan sumpah setia dari Bani Israil untuk memurnikan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah semata. Perhatikan ayat berikut, “Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : “masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud,”, dan kami perintahkan (pula) kepada mereka :”janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu,” dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh,” (QS. An Nisaa : 154).
Peristiwa ini merupakan bentuk karunia Allah terhadap Bani Israil yang telah memberi kesempatan untuk mereka “memperbaiki diri” sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 58 yang berbunyi “ Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud (menundukan diri) dan katakanlah : Bebaskanlah kami dari dosa, niscaya Kami ampuni kesalahan – kesalahanmu dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Pelajaran yang dapat diambil adalah ikatan perjanjian yang kokoh, teguh, kuat (mitsaqan ghaliza) adalah sebuah bentuk komitmen pengikatan diri untuk kita atau siapapun tiada bergeser dari apa yang diperjanjikan atau yang disepakati.
Ini soal konsistensi sikap diri dalam berkehidupan. Betapa sebuah perkawinan misalnya, tentu tidak boleh dijadikan “barang mainan” atau sekedar coba-coba, apalagi diimbuhi dengan kalimat “apa boleh buat” atau “bagaimana nantinyalah, yang penting kawin saja dulu”. Jangan seperti itu. Tapi jadikan jenjang pernikahan sebagai komitmen hidup yang berkesungguhan, karena bukankah Allah SWT juga menjadi saksi?
Begitupun halnya dalam kaitan seseorang mendapat amanah kepemimpinan di republik ini, jangan main-main dan jangan asal. Sebab akan bertambah rusak negeri ini manakala kita atau siapapun tidak sungguh-sungguh dan konsisten pada sumpah dan janji jabatan yang telah diucapkannya.
Fattaqullaha mastha’tum.

Daftar pustaka :
Gambar diambil dari : https://arjunandini.files.wordpress.com/2012/06/ijab-kabul.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...