17 Maret 2015

Kesempatan Yang Berbahagia

Dalam sebuah resepsi pernikahan, sering terdengar celoteh baku si pembawa acara, “Pada kesempatan yang berbahagia ini, pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah…”
Berpanjang-panjang dengan celoteh yang tak mengundang kejutan, si pembawa acara akhirnya membebaskan tamu dari rasa bocan ketika menyelesaikan kalimat penutupnya : “Sekarang tibalah saatnya bagi Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan hadirin sekalian untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pengantin yang berbahagia.”
Dua kali ungkapan yang berbahagia dilafalkan, masing-masing menggandeng kata kesempatan dan pengantin. Pengantin yang berbahagia bermakna “pengantin yang merasa bahagia” atau “pengantin yang merasakan kebahagiaan” (merasa dan merasakan digunakan seperti mendengar dan mendengarkan). Namun, kesempatan yang berbahagia tidak mungkin dipahami sebagai “kesempatan yang merasa berbahagia” atau “kesempatan yang merasakan kebahagiaan.”


Yang berbahagia pada pengantin yang berbahagia berterima karena pengantin adalah nomina insani yang bersenyawa, sedangkan kesempatan bukanlah nomina yang insani dan bersenyawa. Berdasarkan kriteria itu, pemimpin dan rakyat atau polisi dan pencuri dapat berbahagia, bergembira, atau bersedih, sementara kesempatan dan peluang atau persitiwa dan kejadian tidak mungkin berperang sebagai konstituen kalimat yang mampu menanggung beban emosi seperti itu.
Dimanapun dan kapanpun kesempatan tidak akan pernah berbahagia. Ia hanya memiliki potensi untuk membuat kita sedih, gembira, atau bahagia. Pada saat itulah kita bertemu dengan kesempatan yang menyedihkan, menggembirakan atau membahagiakan.
Sara saya kepada si pembawa acara : gantilah celoteh anda dengan “Pada kesempatan yang membahagiakan ini, pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah…”
Dari persoalan siapa yang berbahagia kita beralih pada masalah siapa membohongi siapa yang bentuk pengungkapannya mungkin belum memberikan ketenangan batin bagi sebagian diantara kita. Ketika seorang pejabat atau tokoh masyarakat memberikan penjelasan atau ketenangan batin bagi sebagian diantara kita. Ketika seorang pejabat atau tokoh mesyarakat memberikan penjelasan atau keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, dengan serta merta kita pun mengemukakan penilaian dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan telah melakukan kebohongan publik. Kalau dianalogikan dengan kekayaan pribadi yang bermakna “kekayaan milik pribadi”, maka kebohongan publik tidak dapat ditafsirkan lain kecuali “kebohongan milik public atau milik masyarakat.”
Tafsiran yang demikian akan memunculkan pertanyaan bernada protes ihwal siapa yang dibohongi publik atau kepada siapa publik berbohong karena hakikatnya, penggunaan  kebohongan  publik telah mengakibatkan terjadinya pemutarbalikan (dilihat dari segi kebenaran) atau pemutarbalikan peran (ditinjau dari sisi partisipan komunikasi). Kalau yang hendak diungkapkan ialah konsep yang merujuk pada proses, cara atau perbuatan membohongi publik, yang harus digunakan ialah pembohongan publik.
Kerancuan berbahasa pada dasarnya identik dengan ketidakcermatan berbahasa. Penyebabnya, kita jarang atau bahkan tidak pernah mempertanyakannya, termasuk kepada diri kita sendiri. Atau boleh jadi hal itu memang tidak perlu dipersoalkan. Bukankah kita sudah terbiasa dengan cara berbahasa seperti itu? Bukankah orang lain pun berbahasa dengan cara yang kurang lebih sama seperti kita? Dan karena bahasa merupakan perwujudan dari konvensi atau kesepakatan bersama masyarakat penuturnya, bukankah perilaku berbahasa yang kolektif seharusnya lebih penting dari lebih bermanfaat daripada yang tidak “guyub”?
Fungsi utama bahasa selain sebagai sarana berkomunikasi, juga sarana berfikir. Muaranya kecermatan berbahasa. Dalam konstelasi itu, agaknya kita perlu memahami yang tersurat dan tersirat di balik pandangan seorang wakil Papuan pada Kongres Kebudayaan di Bukittinggi tahun lalu. Seperti yang dilaporkan Rosihan Anwar di Kompas pada 6 November 2003, wakil Papua itu berucap : “kami menyesal belajar bahasa Indonesia secara baik dan benar karena kemudian terbukti di luar kami, bahasa Indonesia mereka sangat kacau.”



Daftar Pustaka :
Gambar diambil dari : https://nasrulchair.files.wordpress.com/2011/02/nasrul-saat-sambutan.jpg
Artikel disadur dan diolah dari Kolom Bahasa Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...