4 Juli 2014

Merawat Malu Menjaga Iman

“Manusia hidup dengan malu dan kebaikan bagai dahan yang montok sepanjang punya kulit. Tidak, demi Alloh, tak ada kebaikan dalam hidup apabila hilang rasa malu dari dunia”
Demikian ungkapan seorang penyair Arab, Abu Tamam, mengenai keharusan merawat sifat malu di dalam dada manusia. Kecakapan seseorang mempertahankan rasa malu, mengindikasikan keunggulan iman melawan nafsu durjana. Sedangkan kerapuhan iman akan tampak pada tercabutnya sifat malu dari pribadi seseorang.


Malu, dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-haya yang berakar dari kata al-hayat, artinya hidup. Al-haya ini juga bisa digunakan untuk arti hujan yang turun, kerena dengan hujan akan terjadi kehidupan atau kesuburan pada tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang. Orang yang memiliki sifat malu dianggap memiliki hidup dan kehidupan, adapun menusia yang kehilangan sifat malu seolah-olah ia tidak hidup atau mayat walaupun bernyawa dan bergerak.
Di antara perbedaan asasi antara manusia dan binatan, selain terletak pada kemampuan akalnya, juga terletak pada kepemilikan rasa malu. Seekor binatang seperti kuda contohnya, berlari-lari dengan tubuh telanjang menarik delman yang dipenuhi muatan, di sepanjang jalan. Sesekali kencing atau berak. Tapi karena tidak dibekali sifat malu, kita tidak akan melihat mimik memerah pada muka sang kuda. Namun sekali lagi, itu lumarah dan wajar bila terjadi di dunia binatang. Perbedaan manusia dan binatang ini harus tetap dijaga dan dipertahankan agar manusia tidak kehilangan identitas sebagai makhluk yang beretika. Tatkala pola-pola perilaku binatang telah diikuti dan dicontoh bangsa manusia, maka hakikatnya manusia telah mengalami kemerosotan moral yang mengkhawatirkan. Untuk itu, para nabi dan rasul terdahulu mengingatkan umatnya agar senantiasa  merawat dan memupuk rasa malu
Sebenarnya rasa malu merupakan sesuatu yang inheren (melekat) pada diri manusia normal tanpa kecuali. Namun demikian rasa malu ini bisa terkikis sedikit demi sedikit sehingga pada gilirannya hilanglah rasa malu tersebut.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan bahwa seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malu tak ubahnya seonggok daging dan darah yang tidak mempunyai kebaikan apapun. Oleh karenanya, secara mutlak seluruh kaum muslimin harus dengan serius merawat dan memupuk rasa malu kepada Allah dalam setiap gerak langkahnya. Sekurang-kurangnya, ada dua strategi yang bisa digunakan untuk merawat sifat malu ini.
Pertama, menumbuhkan sifat ihsan. Ihsan adalah kesadaran jiwa bahwa Allah terus menerus melihat, mengawasi dan mengetahu setiap aktifitasnya baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Seorang muhsin (orang yang berlaku ihsan) merasakan betul sifat Allah sebagai Al-Bashir dan Al-‘Alim, sehingga tidak akan merasa tenteram mengerjakan suatu dosa walaupun sebesar biji dzarrah. Rasulullah menjelaskan sifat ihsan sebagai berikut :
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkai tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah Maha melihatmu.”
Sikap ihsan inilah yang menyelematkan  Yusuf ‘alaihis salam dari syahwat yang ditiupkan iblis saat dipaksa Siti Zulaikha melakukan perbuatan zina dirumah yang sunyi sepi. Saat itu Zulaikha mengambil sehelai kain dan menggunakannya untuk menutupi patung yang terdapat di kamar karena merasa malu, maka Yusuf pun berkata,
“bagaimana engkau ini, engkau merasa malu oleh benda padat yang buta dan tuli. Tetapi mengapa engkau tidak malu kepada pengawasan Allah yang Maha Melihat?”.
Sejujurnya sebagai laki-laki normal, Yusuf menyukai Zulaikha, tetapi sikap ihsan yang tertanam di sanubarinya telah mampu mencegahnya dari suatu perbuatan yang sangat dimurkai Allah.
Kedua, meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Hilangnya rasa malu dalam diri seseorang tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba, tetapi melalui tahapan dan proses yang bisa jadi memakan waktu sangat lama. Barangkali saat pertama kali seseorang melakukan suatu dosa, walaupun  bukan kategori dosa besar, tapi ia sangat malu, merasa tidak nyaman, dan ketakutan yang membuat keringat bercucuran. Namun bila perilaku dosa itu dikerjakan secara terus menerus dan berulang-ulang, maka bertahap, pelan tapi pasti ia akan menikmati, merasa nyaman dan menganggap wajar dosa tersebut. Jadilah ia seorang yang binasa.
Rasulullah SAW bersabda;
“Sesungguhnya Allah jika hendak membinasakan seseorang, dicabutlah dari orang tersebut rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)
Kaum muslimin bisa bercermin pada keluhuran akhlak orang-orang shaleh terdahulu. Mereka berupaya sekuat tenaga menjauhi dosa-dosa, tapi tetap mempunyai rasa malu yang luar biasa sehingga merasa paling hina serta paling banyak dosanya dihadapan rekan-rekan lainnya.

Kepekaan orang-orang shaleh terdahulu terhadap dosa memang logis, karena dosa yang dikerjakannya hamper tidak ada, sehingga apabila faktor ketidaksengajaan, akhirnya mereka terjerembab ke dalam dosa, mereka sangat merasakan sakitnya. Sebagaimana Sa’id bin Zubair menuturkan; “Orang yang luka karena dosa, bila ia teringat akan dosanya, maka ia memandang kecil amal yang telah diperbuatnya.” Sedangkan di pendosa, ia ibarat mayat atau bangkai, walaupun tubuhnya banyak luka yang menganga, tetap tidak merasakan pedihnya. Wallahu A’lam



Gambar diambil dari : http://www.preciouslife.gr/wp-content/uploads/2014/02/tutup-muka.jpg

4 komentar:

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...