26 Juli 2016

Belajar Dari Brexit

Dunia kini berada dalam keadaan resesi berkepanjangan. Kemerosotan ekonomi global yang teramat kejam telah membawa sejumlah negeri dalam kebangkrutan. Tengok Angola, baru beberapa bulan dinobatkan sebagai “fail state” karena tak sanggup menanggung hutang luar negeri. Setali tiga uang dengan Yunani, tunggakan kredit yang mencapai lima ribu trilyun, itu nolnya kalo tidak salah ada lima belas, terpaksa mengemis belas kasihan kepada negara regional yang menopang kawasan perenonomian mata uang Euro, macam Jerman dan Inggris. Kejam bener ancaman resesi ini, lebih kejam kurasa daripada penolakan calon mertua.


Fenomena Brexit (British Exit) yang mengemuka beberapa bulan lalu merupakan reaksi keras bangsa Britania atas masalah resesi global yang menyeret kawasan Euro kedalam jurang kebangkrutan. Sejarah kerjasama kawasan Uni Eropa yang dimulai 40 tahun lalu itu nampaknya kini tak harmonis lagi. Masalah terbesar adalah karena Inggris terlalu menjadi tumpuan. Tengok saja, Inggris menjadi penyandang dana terbesar kawasan hingga mencapi hampir 30 % yang hanya selisih 1 digit dengan Jerman. Masalah terbesar kawasan ini adalah bangkrutnya Yunani dalam menyebabkan Inggris menjadi tumbal karena harus ikut menanggung dampak yang ditimbulkan Yunani.
Faktor lain yang membuat Inggris galau adalah banyaknya imigran yang mencapai 100 ribu orang pertahun masuk ke Inggris dari negara Uni Eropa, sebagai akibat kesepakatan kawasan bahwa setiap warga Uni Eropa bebas keluar masuk dan bekerja di semua negara anggotanya. Tentu masalah ini sangatlah pelik, membuat warga Inggris sendiri harus bersaing dengan imigran, sehingga ex officio pengangguran meningkat dan gejolak sosial bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Hal inilah yang memaksa Inggris menyelematkan dan mengamankan hajat hidup rakyatnya, pilihan berat harus diambil meskipun tak sedikit yang menolak. Tak  ada mufakat, voting pun diangkat. Semua pihak berusaha mengkapanyekan ide “in” or “out” dari Uni eropa. Jajak pendapat semua rakyat menjadi mutlak, dan ini menjadikan kursi perdana menteri menjadi panas, David Cameron harus rela terdepak jika “Brexit” berhasil di gol-kan kaum oposan yang dipimpin Theresa May.
Bukan tak berfikir keras juga sebetulnya kaum oposan ketika mengajukan Brexit keparlemen Inggris. Bagaikan makan buah simalakama, mudharat yang ditimbulkan ketika Inggris keluar dari Uni eropa juga sama besar jika tetap bertahan di dalamnya. Mata uang Poundsterling bakalan terjun bebas nilainya yang pasti berdampak pada bursa efek Inggris. Selain itu, sebagai penanam modal terbesar, Inggris harus kehilangan banyak investasi, kehilangan banyak hak dan keistimewaan dalam perdagangan regional yang sebelumnya mereka dapatkan. Namun apa boleh buat, kepentingan nasional menjadi prioritas. Hajat hidup rakyat Inggris harus diutamakan, tiada yang lain.
Ketika jajak pendapat diumumkan, ternyata sebagian besar rakyat Inggris yaitu sekitar 61% memilih memisahkan diri dari Uni Eropa. Sejarah baru telah dituliskan, salah satu pendiri dan pemrakarsa Uni Eropa harus menjadi yang yang pertama meninggalkan apa yang dulu dirintisnya, menjadikan negara itu kini sendirian di Eropa Barat. Terpisah seperti fitrahnya, terpisah dari Eropa daratan.
Beberapa pelajaran penting dari kasus Brexit untuk politik Indonesia. Pertama, meskipun secara ekonomi menguntungkan pemerintahan, namun kepentingan nasional menjadi prioritas, hajat hidup rakyat adalah hal utama yang harus dikedepankan. Bagaimana dampak Uni Eropa terhadap lapangan pekerjaan di Inggris begitu terasa dengan mengalirkan ratusan ribu imigran ke Inggris, praktis dengan Brexit mereka harus angkat kaki dari tanah Britania. Berbalik dengan kita, dengan adanya MEA dan ACFTA kita seakan membuka keran pekerja asing secara besar-besaran tanpa ada kualifikasi jelas. Ratusan ribu pekerja illegal China dengan mudahnya memasuki kawasan Indonesia. Bagaimana lahan-lahan pekerjaan yang seharusnya mampu di ampu oleh pekerja dalam negeri kini dinikmati pekerja expatriate. Dengan gaji yang jauh lebih tinggi, dengan fasilitas yang diberikan kepada mereka lebih bagus. Dengan memperlakukan bangsa sendiri seperti ini, Pancasila dan UUD 1945 hanya pepesan kosong, jauh panggang dari api.
Kedua, bagaimana oposan juga harus mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa harus melupakan kepentingan nasional. Bagaimana program Brexit ini dilatarbelakangi keinginan Inggris untuk mandiri, mengelola kepentingan ekonomi dan politik mereka terlepas dari intervensi kawasan layak diacungi jempol. Oposan bertindak atas dasar kepentingan rakyat, bukan semata-mata demi menjegal pemerintahan. Jadi ada balancing kekuasaan di parlemen, sebuah pembelajaran bahwa rival merupakan tempat pengujian gagasan, bukan lawan yang harus ditumpas dan diberangus. Di dalam negeri kita, politik merupakan gerakan setuju berarti rangkul dan menolak berarti musuh, politik pragmatis yang mengedepankan urat dan otot. Maklum saja, budaya berpolitik di Indonesia tak jauh dari mencari rente, parpol mencomot secara instan kader-kader politik dengan siapa berani “menyetor” modal ke partai pengusung, bukan kualitas dan gagasan yang menjadi saringan. Sungguh naas, kita bak ayam mati di lumbung padi. Terlalu ironis, negara subur makmur namun miskin tak berdaya.

Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan para pemimpin merealisasikan gagasan yang telah mereka sampaikan saat berkampanye, bahwa kepentingan nasional-lah yang harusnya menjadi prioritas, bukan hanya rente, balas budi kepada pemberi modal kampanye. Sebuah pembelajaran dari Brexit, dari tanah Britania yang maju secara demokrasi dan ekonomi namun tetap saja masih khawatir dengan dirinya, berhati-hati dalam menyikapi kebijakan dan berpihak kepada rakyat bangsa sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...