Dunia
kini berada dalam keadaan resesi berkepanjangan. Kemerosotan ekonomi global
yang teramat kejam telah membawa sejumlah negeri dalam kebangkrutan. Tengok
Angola, baru beberapa bulan dinobatkan sebagai “fail state” karena tak sanggup
menanggung hutang luar negeri. Setali tiga uang dengan Yunani, tunggakan kredit
yang mencapai lima ribu trilyun, itu nolnya kalo tidak salah ada lima belas,
terpaksa mengemis belas kasihan kepada negara regional yang menopang kawasan
perenonomian mata uang Euro, macam Jerman dan Inggris. Kejam bener ancaman
resesi ini, lebih kejam kurasa daripada penolakan calon mertua.
Fenomena
Brexit (British Exit) yang mengemuka beberapa bulan lalu merupakan reaksi keras
bangsa Britania atas masalah resesi global yang menyeret kawasan Euro kedalam jurang
kebangkrutan. Sejarah kerjasama kawasan Uni Eropa yang dimulai 40 tahun lalu
itu nampaknya kini tak harmonis lagi. Masalah terbesar adalah karena Inggris
terlalu menjadi tumpuan. Tengok saja, Inggris menjadi penyandang dana terbesar
kawasan hingga mencapi hampir 30 % yang hanya selisih 1 digit dengan Jerman.
Masalah terbesar kawasan ini adalah bangkrutnya Yunani dalam menyebabkan
Inggris menjadi tumbal karena harus ikut menanggung dampak yang ditimbulkan
Yunani.
Faktor
lain yang membuat Inggris galau adalah banyaknya imigran yang mencapai 100 ribu
orang pertahun masuk ke Inggris dari negara Uni Eropa, sebagai akibat
kesepakatan kawasan bahwa setiap warga Uni Eropa bebas keluar masuk dan bekerja
di semua negara anggotanya. Tentu masalah ini sangatlah pelik, membuat warga
Inggris sendiri harus bersaing dengan imigran, sehingga ex officio pengangguran
meningkat dan gejolak sosial bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Hal
inilah yang memaksa Inggris menyelematkan dan mengamankan hajat hidup
rakyatnya, pilihan berat harus diambil meskipun tak sedikit yang menolak. Tak ada mufakat, voting pun diangkat. Semua pihak
berusaha mengkapanyekan ide “in” or “out” dari Uni eropa. Jajak pendapat semua
rakyat menjadi mutlak, dan ini menjadikan kursi perdana menteri menjadi panas, David
Cameron harus rela terdepak jika “Brexit” berhasil di gol-kan kaum oposan yang
dipimpin Theresa May.
Bukan
tak berfikir keras juga sebetulnya kaum oposan ketika mengajukan Brexit
keparlemen Inggris. Bagaikan makan buah simalakama, mudharat yang ditimbulkan
ketika Inggris keluar dari Uni eropa juga sama besar jika tetap bertahan di
dalamnya. Mata uang Poundsterling bakalan terjun bebas nilainya yang pasti
berdampak pada bursa efek Inggris. Selain itu, sebagai penanam modal terbesar,
Inggris harus kehilangan banyak investasi, kehilangan banyak hak dan
keistimewaan dalam perdagangan regional yang sebelumnya mereka dapatkan. Namun
apa boleh buat, kepentingan nasional menjadi prioritas. Hajat hidup rakyat
Inggris harus diutamakan, tiada yang lain.
Ketika
jajak pendapat diumumkan, ternyata sebagian besar rakyat Inggris yaitu sekitar
61% memilih memisahkan diri dari Uni Eropa. Sejarah baru telah dituliskan,
salah satu pendiri dan pemrakarsa Uni Eropa harus menjadi yang yang pertama
meninggalkan apa yang dulu dirintisnya, menjadikan negara itu kini sendirian di
Eropa Barat. Terpisah seperti fitrahnya, terpisah dari Eropa daratan.
Beberapa
pelajaran penting dari kasus Brexit untuk politik Indonesia. Pertama, meskipun secara
ekonomi menguntungkan pemerintahan, namun kepentingan nasional menjadi
prioritas, hajat hidup rakyat adalah hal utama yang harus dikedepankan.
Bagaimana dampak Uni Eropa terhadap lapangan pekerjaan di Inggris begitu terasa
dengan mengalirkan ratusan ribu imigran ke Inggris, praktis dengan Brexit
mereka harus angkat kaki dari tanah Britania. Berbalik dengan kita, dengan
adanya MEA dan ACFTA kita seakan membuka keran pekerja asing secara
besar-besaran tanpa ada kualifikasi jelas. Ratusan ribu pekerja illegal China dengan
mudahnya memasuki kawasan Indonesia. Bagaimana lahan-lahan pekerjaan yang
seharusnya mampu di ampu oleh pekerja dalam negeri kini dinikmati pekerja expatriate.
Dengan gaji yang jauh lebih tinggi, dengan fasilitas yang diberikan kepada
mereka lebih bagus. Dengan memperlakukan bangsa sendiri seperti ini, Pancasila
dan UUD 1945 hanya pepesan kosong, jauh panggang dari api.
Kedua,
bagaimana oposan juga harus mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa harus
melupakan kepentingan nasional. Bagaimana program Brexit ini dilatarbelakangi
keinginan Inggris untuk mandiri, mengelola kepentingan ekonomi dan politik
mereka terlepas dari intervensi kawasan layak diacungi jempol. Oposan bertindak
atas dasar kepentingan rakyat, bukan semata-mata demi menjegal pemerintahan. Jadi
ada balancing kekuasaan di parlemen, sebuah pembelajaran bahwa rival merupakan
tempat pengujian gagasan, bukan lawan yang harus ditumpas dan diberangus. Di
dalam negeri kita, politik merupakan gerakan setuju berarti rangkul dan menolak
berarti musuh, politik pragmatis yang mengedepankan urat dan otot. Maklum saja,
budaya berpolitik di Indonesia tak jauh dari mencari rente, parpol mencomot
secara instan kader-kader politik dengan siapa berani “menyetor” modal ke
partai pengusung, bukan kualitas dan gagasan yang menjadi saringan. Sungguh naas,
kita bak ayam mati di lumbung padi. Terlalu ironis, negara subur makmur namun
miskin tak berdaya.
Sudah
saatnya bangsa ini bangkit dan para pemimpin merealisasikan gagasan yang telah
mereka sampaikan saat berkampanye, bahwa kepentingan nasional-lah yang harusnya
menjadi prioritas, bukan hanya rente, balas budi kepada pemberi modal kampanye.
Sebuah pembelajaran dari Brexit, dari tanah Britania yang maju secara demokrasi
dan ekonomi namun tetap saja masih khawatir dengan dirinya, berhati-hati dalam
menyikapi kebijakan dan berpihak kepada rakyat bangsa sendiri.