4 Januari 2016

FREEPORT EKSPLOITASI MENTAL INLANDER PEJABAT NEGERI

Siapa yang tak tahu Indonesia yang sejak dahulu kala menjadi rebutan bangsa asing karena kekayaan alamnya. Zamrud Khatulistiwa ini begitu menakjubkan, sampai-sampai pedagang dari Eropa dan Afrika rela berlayar berbulan-bulan demi mencapai Indonesia, demi rempah-rempah yang saat itu seharga emas.



Nusantara yang begitu makmur di bawah panji kerajaan-kerajaan Islam dan sultan-sultan yang adil, benar-benar mencerminkan gemah ripah lohjinawi, semua rakyat makmur, cukup makan dan sejahtera lahir batinnya. Hingga kedatangan kaum kapitalis Portugis yang membawa semangat Gold, Glory dan Gospel ditahun 1512. Mulanya Portugis berdagang dengan penduduk lokal dan menjalin mitra dengan mereka. Kemudian otak licik mereka bekerja, tak lagi berdagang dengan adil, mereka mulai memonopoli perdagangan, semua perdagangan mereka kuasai. Kekuatan militer dan lobi terhadap penguasa lokal menjadikan mereka punya taring di pelabuhan.
Ketika pelabuhan sudah dikuasai, mereka mulai membangun benteng dan melancarkan misi mereka dengan menguasi wilayah perdagangan sebagai jajahan. Dengan persenjataan lengkap mereka dengan mudah menaklukan raja sebagai penguasa lokal. Mereka mau tidak mau membiarkan program commonwealther dalam melancarkan rencana eksploitasi terhadap rakyat. Tanam paksa dan kerja paksa, siasat biadap penjajah pemasung kebebasan tanpa nurani. Begini keadaan rakyat nusantara hingga berganti tirani
Kemudian Belanda datang setelah mengusir Portugis pada tahun 1602. Kekalahan Portugis memaksa mereka angkat kaki dari Nusantara dan menyerahkan kekuasaan kepada Hollanda. Ditangan Belanda, kita terjajah hingga 3 abad. Dibawah VOC (Verenigde Oost indische Compagnie) kita termonopoli dan terpasung kebebasan hingga melewati dua kali perang dunia. Lebih kejam, lebih  nggegirisi, karena tindakan mereka yang semena-mena terhadap rakyat. Taktik keji devide et impera dilancarkan kumpeni, mengadu domba kemudian menguasai menjadi metode jitu hingga kekuasaan langgeng hingga 30 dekade. Mereka sadar bahwa nusantara beragam dan penuh perbedaan. Bangsa ini dahulu belum sadar, perbedaan adalah sebuah senjata dan kekuatan maha dahsyat yang mampu mengalahkan kekuatan asing manapun, persatuan adalah bahasa yang belum dikenal, bahkan belum ada dalam angan pemimpin saat itu.
Inlander, begitu istilah yang disematkan kepada kaum pribumi nusantara. Julukan yang sebetulnya bermakna sangat menyakitkan, bermakna sangat menyayat bagi harkat dan martabat bangsa ini. Inlander yang berarti jajahan, bawahan, suruhan dan makna konotatif tertuju pada “budak”. Budak yang dikuasai sepenuhnya, dikuasai dari semua segi hingga hak asasi manusia. Belanda saat itu mengeruk habis kekayaan kita dan membawa ke negeri mereka, dan dengan bangganya mereka menyebut DAM yang mereka bangun di negera asal mereka sebagai kekayaan dan kehebatan. Mereka hanyalah lintah, drakula penghisap darah yang berhutang banyak pada nusantara. Van den Bosch yang membantai jutaan rakyat dalam kerja paksa mereka anggap pahlawan.
Didikan kolonialisme Belanda, yang sangat menjerumuskan. Tengok saja, mental terjajah begitu mendarah daging, mental takut menentang kaum kapitalis masih tersisa, bahkan dalam jiwa pemimpin dan wakil kita di eksekutif dan legsilatif saat ini.
Mental inlander yang akut ini tercium oleh Freeport persahaam tambang asal negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Bayangkan, tambang emas dan logam mulia dari bumi nusantara dikeruk hampir 30 tahun terakhir dan kita hanya kebagian upeti 1%, berton-ton mineral berharga yang tertambang, kita hanya kebagian hitungan kilogram. Pemimpin sepertinya tak pernah mendengar suara bawah yang menginginkan tambang itu kepangkuan ibu pertiwi.
Ketika kontrak karya Freeport Mcmoran akan segera berakhir di 2021, otak licik Freeport mulai bekerja. Tengok saja, seorang legislator dari partai beringin, yang notabene adalah ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, mencatut nama Presiden untuk memperpanjang kontrak karya Freeport hingga 2040. Dengan dalih mendapat upeti 18%, mereka beralasan dan berani mencatut nama Presiden, sebuah entitas lembaga tinggi negara, yang lebih dari itu adalah penghinaan terhadap rakyat negeri ini.
Setelah ketahuan belakangnya, sebut saja Setya Novanto, tak juga malu dan mengundurkan diri. Partai kuning bekas penguasa membawa kasus ini ke dalam MKD (Majelis Kehormatan Dewan), yang jelas sama busuk otaknya. Telah diduga sebelumnya, SN bebas melenggang, tanpa hukuman berarti. Hanya pencopotan jabatan ketua, tapi tetap menjadi anggota dewan di Senayan.
Meskipun kadang cinta tak ada logika, tapi tindakan MKD ini lebih tak bernalar dan bernuarani. Jika seseorang mencemarkan nama baik ketika salah sebut di media sosial seperti kasus para artis saja, bisa dituntut ke meja hijau, apalagi ini kasus mencatut nama, menggunakan legalitas dan kewenangan presiden untuk kepentingan perutnya, kenapa hanya dijatuhi hukuman pencopotan jabatan. Selayaknya orang macam ini dihukum mati atau minimal seumur hidup dipenjara. Apa akibatnya jika kasus ini dibiarkan, semua orang yang berakal bulus di DPR akan mencatut nama presiden sebagai legalitas tindakan mereka yang bernafsu menjarah bangsa mereka sendiri.
Inilah mental inlander, mental budak terjajah, belum bebas dan tidak merdeka secara hakiki. founding father bangsa ini telah berpesan dalam UUD 1945 pasal 33, bahwa kekayaan nusantara harus dikembalikan demi kesejahteraan rakyat. Tapi yang mereka perbuat sungguh jauh panggang dari api. Apa yang diramalkan oleh Ranggawarsito dalam bukunya, bahwa kelak bangsa ini akan dijajah lagi bukan oleh bangsa asing saja, namun ada yang lebih kejam, yaitu oleh bangsanya sendiri. Kini, dalam perkembangannya, SN menuntut menteri ESDM yang menjadi wistle blower dalam kasus ini, pengungkap fakta kebusukan kader Partai Golkar. Bagaimana mungkin penjahat macam ini laporanya bisa diterima oleh kejaksaan? Miris.
Apa yang terjadi di dewan ini adalah menguak betapa bobrok dan buruknya kualitas dan nurani dari kaum legislator. Apa yang mereka kejar dan perjuangakan selama mereka duduk di kursi terhormat? Yah, kejar setoran dan balik modal, sehingga apapun akan dilakukan demi mendapat upeti dari proyek yang mereka kerjakan. Institusi DPR telah berubah menjadi lembanga pengejar rente, pengejar provit, tak ubahnya makelar, makelar yang tega menghisap darah rakyat yang telah mempercayai mereka menjadi wakil yang akan memperjuangkan nasib dan kemajuan bangsa ini.
Ironis, tapi ini bukti kegagalan proses demokrasi. Demokrasi yang mahal dan berorientasi materi menjadi pangkal. Rakyat yang memilih karena money politic, kini merasakan efek domino proses yang juga mereka dukung dimasa pemilu. Kita seharusnya belajar, mereka yang menginginkan amanah dengan cara menyuap pemilih akan menghasilkan kinerja yang buruk. Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap bahwa bangsa ini akan segera sadar dan tidak terjerumus lebih dalam masuk ke lembah kenistaan. Semog Alloh SWT lindungi bangsa dan rakyat bangsaku ini. Amin.

Gambar diambil di : http://www.luwuraya.net/wp-content/uploads/2014/10/setyanovanto.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...