28 Desember 2015

Ujian Persahabatan Di Bumi Prau



Sahabat, yang kemudian membentuk kata persahabatan merupakan kata yang lazim kita dengar dalam keseharian. Kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia yang berarti kawan kental, karib ataupun dekat. Bagitu hits nya kata ini, grup band terkenal macam Sheila On Seven pernah menukil kata sahabat dalam singlenya yang melegenda bertajuk “sahabat Sejati” di akhir era 90an. Lagu ini begitu fenomenal karena menohok dan menyentuh kalbu para pendengarnya yang rata-rata berusia remaja.
Kata sahabat juga digunakan dalam Islam, kita mengenal istilah “Sahabat Rasulullah”.Begitu pentingnya Sahabat Rasulullah ini, mereka sampai dibagi menjadi beberapa tingkatan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadits maupun perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh mereka.


Ngomong-ngomong soal persahabatan, izinkan saya bercerita tentang sebuah pengalaman menarik bersama anak-anak Al Gazhi dalam sebuah ekspedisi. Mungkin, apa yang dilakukan Al Ghazi Adventure kali ini merupakan kegiatan rutin, tapi menurut saya kegiatan ini bermakna dalam, merupakan bentuk self assesement, karena persahabatan merupakan kawah candradimuka psikologis, fase puncak entitas sosial insani yang menimbulkan hubungan erat, rasa memiliki, rasa sepenanggungan dan rela berkorban.
Ekspedisi ini bertajuk “Prau Adventure”. Rangkaian kegiatan yang telah digaungkan sejak 3 bulan lalu begitu menarik dan serasa menggelitik untuk diikuiti. Sejak masuk angkatan Rabbani di YISC, baru sekali ini saya dengar ada sebuah mikat (klub, minat dan bakat) yang menaungi para pecinta alam yang konon katanya dibalut secara “syar’i”. Rasa penasaran saya membuncah, setelah melihat fliyer yang di sebar panitia diberbagai media sosial yang ada di civitas Rabbani. Pendakian masal Prau bakal digelar diawal Desember, sebuah tantangan yang mengingatkan saya akan masa lalu yang berliku (malah curcol, he4).
Gunung Prahu (dalam dialeg jawa Prau) ini memang sayang untuk dilewatkan. Kabar pesona keindahan alamnya begitu menyihir pendaki pemula macam saya. Puncak memanjang, padang ilalang berhiaskan bunga Daisy dan tentu saja golden sunrise yang disajikan dari negeri di atas awan, Dieng adalah Surga yang singgah ke bumi. Surga yang dititipkan Sang Maha Pencipta ke tanah Nusantara, tiada duanya.
Pendaftaran peserta dibuka diawal Oktober dengan sistem seat by order, dengan mendaftarkan nama dahulu hingga semua kuota peserta terpenuhi, dan saya adalah orang yang beruntung masih kebagian kuota satu tempat, jadideh naik gunung lewati lembah, menyeberang sungai yang mengalir indah ke samudra, bersama teman berpetualang. He4…
Sebulan menjelang keberangkatan, mulailah panitia mengumpulkan peserta dan diberikan pengarahan macam anak ospek. Bahkan urusan jogging pun dicover. Apa urusanya panitia turut campur masalah perjogingan peserta? Inilah kawan, saya mendapatkan pelajaran pertama dari kegiatan ini. Ternyata kesiapan kita secara mental dan fisik menjadi penentu berhasil tidaknya kegiatan ini. Persiapan mental, kita dibekali dengan ilmu teoritis mulai dari teknik packing, survival, ilmu navigasi dan thethekbengek urusan perlengkapan dibahas secara mendetail. Kemudian fisik, kita diwajibkan minimal 4 kali sebelum keberangkatan melakukan jogging selama 30-60 menit persesi. Dan untuk memantapkan, kita dibagi menjadi tim-tim kecil beranggotakan 4-5 orang dan didampingi seorang fasilitator, yang kayaknya panitia memang memantau kita dengan seksama, salut buat kakak panitia. Ternyata urusan naik gunung ini ribet, tapi asikin ajalah, bukankah kata pepatah hidup semakin indah dengan sedikit berarah-darah (lebay).
Tibalah kita di hari pelaksanaan kegiatan. Jum’at, 4 Desember  tepat pukul 18.00 peserta diwajibkan kumpul di depan loket bus Sinar Jaya di Kampung Rambutan yang akan mengantar kita menuju Wonosobo. Sore itu hujan cukup deras mengguyur, ples bertepatan dengan akhir pekan, kebayangkan macetnya Jakarta apalagi menuju terminal Kampung Rambutan. Praktis jadwal molor dari rencana semula. Ujian pertama berupa kesabaran telah dimulai. Hingga pukul 20.30 peserta belum lengkap, masih ada yang terjebak macet di jalan. Kawan, meskipun lama menunggu, tapi kita mahfum bahwa tidak boleh satu orang pun anggota tertinggal dalam acara ini. Tidak ada keluh kesah dari peserta lain, dan panitia dengan sabar menunggu hingga semua peserta lengkap. Hem, amazing. Akhirnya, bus berangkat dari Rambutan pukul 21 teng dan nyampe di terminal Wonosobo pukul 10 keesokan harinya.
Hari kedua, merupakan puncak kegiatan ini. Perjalanan sebenarnya baru akan dimulai. Setelah packing ulang dan sarapan, kita langsung bergerak menuju Base Camp Patak Banteng dengan minibus. Konon, Patak Banteng ini merupakan jalur yang paling berat dilalui dibanding jalur lain untuk menuju Gunung Prau. Namun ada keunggulannya, treknya lebih cepat hanya memerlukan waktu 4 jam untuk mencapai puncak.
Langit cerah berawan menyambut kedatangan kami di Patak Banteng, rasa-rasanya perjalanan ini bakal mudah, alam saja mendukung perjalanan kami. Setelah melakukan registrasi dan thethekbengek urusan administrasi kita langsung deh jalan menuju puncak Prau. Baru berjalan ratusan meter, kita langsung disambut oleh trek pendakian yang aduhai, pemandangan indah persawahan dikiri kanan jalan setapak, menemani perjalanan kami hingga di pos pertama.
Lewat pos pertama, trek sangat menantang. Medan berbatu, sempit dan licin serta jurang dikiri kanan jalur membuat perjalanan begitu berbahaya. Jalur yang menanjak 50-60o memaksa kami menggenjot tenaga supermaksimal, praktis makan siang yang kami santap beberapa waktu lalu hilang tak berbekas karena hadangan jalur yang “gila” ini, huft. Banyak peserta yang kelelahan, kehabisan tenaga karena jalur yang terjal. Ujian berikutnya baru saja dimulai, kegigihan dan pantang menyerah menjadi cobaan. Ada satu hal menarik, jika kita mau tahu sifat asli seseorang, ajaklah dia mendaki gunung. Orang yang dalam posisi nyaman tidak akan keluar sifat aslinya, sedangkan dikondisi ekstrim sifat asli akan keluar. Kita akan melihat seberapa besar loyalitas sahabat disaat terdesak dan bagaimana mereka akan berbagi.
Kawan, ternyata trek yang menyiksa lutut ini tak membuat kita menyerah. Kita saling menyemangati, kita saling mendukung dan kita rela saling mengulurkan tangan untuk membantu anggota tim dalam melalui jalur terjal. Dukungan dari kakak pendamping begitu membakar jiwa kami, ada satu rahasia kecil, kakak-kakak yang mendampingi kami ini sepertinya memiliki keistimewaan. Mereka tak henti-hentinya berteriak memberi semangat, ngajakin becanda (kadang ngegombal, he4) sehingga perjalanan sedikit lebih ringan. Hah..., akhinya jelang magrib kita semua mampu tuntaskan ujian ketahanan, ujian kebersamaan, daya juang dan hadangan jalur tiada ampun Gunung Prau. Makasih kakak fasil…
Setelah kelar mendirikan tenda dan bersih diri, acara dilanjutkan dengan sholat berjamaah kemudian dilanjutkan makan malam bersama. Menu istimewa dihidangkan malam itu, sop kentang. Ini sop kentang pertama yang saya makan diatas gunung. Dan spesialnya lagi, kentangnya terasa berbeda, perfecto, cok guzel, lezetli, seperti ada manis-manisnya gitu. Halah… (bukan iklan).
Kelar makan malam acara dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Sambutan seperti di kondangan saling bergantian, dari ketan Al Ghazi, ketua panitia dan sambutan malam itu diakhiri oleh pesan dari kak Andi dari Wanadri. Pesan beliau kepada kita nih anak-anak nubie masalah pergunungan, bahwa belajar dari alam merupakan salah satu metode untuk mengenal diri kita lebih dalam, mengenal dan menghargai setiap detik dari hidup kita. Pesan yang superb… kemudian acara malam itu ditutup dengan acara tukar kado dan tukar pesan dan kesan diantara peserta. Lepas acara semua berangkat kepulau kapuk demi persiapan berburu sunrise esok hari.
Tepat pukul 4 pagi kami bangun untuk melaksanakan sholat Shubuh berjamaah dilanjut dzikir al ma’surat pagi, kemudian lanjut menuju spot pemantauan sunrise. Spot banyak pilihan, karena bentuk puncak Prau yang memanjang, kita bisa pilih mana nih yang kita suka. Akhirnya tak beberapa lama yang ditunggu datang. Matahari muncul layaknya bidadari yang bangun dari tidur, merah merona, beralaskan awan putih dan birunya deretan pegunungan, memanjakan mata barang 15 menit, kemudian ia kembali bersembunyi, cantik sekali. Inilah kawan yang membuat bangsa barat ngiri sama kita, natural beauty. Hem, 15 menit yang berharga. Lanjut dong poto-poto, seperti biasa nih mah. Kelar sunrise kita dihidangkan nasi lauk rendang yang pokoknya pengin tamboah ciek, tapi apa daya jatah cuman sepotong.
Kelar sarapan langsung deh kita operasi semut dan turun kembali menuju base camp Patak Banteng. Perjalanan turun ini juga tak kalah menantang. Medan terjal kembali menghadang, tapi dengan pengalaman saat menanjak,  perjalanan turun menjadi lebih enjoy dan santai. Ringan karena tak perlu menguras energi. Hanya 2 jam kami tembus terjalnya Prau. Perjalanan turun ini dihiasi hujan, sepertinya Prau tak rela kami pulang segera. Tepat pukul 14, kami meninggalkan Patak Banteng menuju terminal Wonosobo dan kemudian dilanjutkan pulang menuju Jakarta. Kembali dengan membawa kenangan baru, membawa atmosfer baru persahabatan di hati dan rindu tuk bertemu kembali di lain hari, indah sekali.
Kawan, malam itu saya belajar banyak hal dari angkatan Al Ghazi ini. Pertama bertemu mereka, saya langsung merasakan kehangatan, atmosfer kebersamaan yang kental serta tidak ada batasan sekat. Tidak kentara siapa yang menjabat disini, sampai-sampai saya baru sadar ternyata ketua angkatan mereka menjadi peserta kegiatan. Persahabatan mereka telah mendarah daging. Saling goda dan “ngecengin” satu dengan yang lain, tapi masih dalam batas syar’i meskipun agak absurd. Tiada dendam, tiada yang merasa terhina, karena sadar mereka adalah saudara. Ukhuwah yang sangat kurindukan, ukhuwah yang pasti tidak tertukar dengan emas berlian. Seharusnya memang begini sebuah organisasi dibangun, atas dasar persahabatan. Seperti larutan glukosa, mereka jernih, tiada layer-layer, sangat homogen namun terasa manis. Manis yang sejati bukan ilusi ataupun sakarin yang merusak hati, karena saling mengisi. Inilah proses ujian persahabatan yang berhasil mereka lewati. Sebuah ujian berat yang pasti akan lebih mendekatkan. Karena hakikatnya ujian itu menguatkan bukan melemahkan. Ujian ukhuwah yang menjadi bagian dari keimanan seorang muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...