26 Maret 2014

Hilangnya Idealisme Berpolitik

Politik, sungguh dapat menjadikan sebuah bangsa unggul dimata dunia. Politik pulalah yang membuat suatu negara hancur dalam kenistaan dan keterpurukan. Politik dalam bahasa aslinya "politikos" yang berarti "dari, untuk dan tentang negara" seolah kini menjadi rancu dijalankan di Negara Republik Indonesia. Tengok para politisi sekarang, jauh dari pembahasan tentang negara apalagi kesejahteraan. Politik dalam kacamata rakyat tak lebih dari perebutan kekuasaan berbalut kepentingan kapitalis. 




Motif ekonomi ini didorong oleh biaya politik yang besar dalam pemilu. Ketika seorang caleg dalam pemilu mengeluarkan uang miliyaran rupiah ketika kampanye, dan uang itu sebagian besar dari dana pribadi. Tak ayal, jika kemudian mereka terpilih motif pengembalian "modal" menjadi pikiran mereka sehari-hari. Sialnya jika tak tembus, tak sedikit yang jatuh miskin, bangkrut dan masuk rumah sakit jiwa.
Andaikan mereka dapat sponsor, siapa yang berani mensponsori perjudian politik selain pengusaha? Jika kemudian lolos ke badan legislatif, pasti imbal jasa atau hutang budi kepada pihak pemberi sponsor seperti lumrah. Tengok saja pembalakan hutan atau pemenangan tender proyek justru didalangi anggota DPR yang bukan ranahnya lagi menangani proses teknis.
Dalam bahasa yang lain, politik diartikan kecerdasan bahkan sifat sopan, arif, bijaksana ataupun rasional. Menilik arti tersebut sungguh geli rasanya (mungkin muak) kita mendengar polah tingkah para caleg dalam pemilu 2014. Mereka melakukan ritual siraman di sungai keramat, meminta petunjuk dukun atau mendatangi makam-makam keramat untuk mendapatkan berkat. Jika jalan yang mereka tempuh saja sudah tidak menunjukan sifat-sifat rasional, bisa dibayangkan bagaimana kualitas kebijakan yang meraka buat nanti jika fikiran meraka tak jauh dari klenik dan penyembahan setan.
Hilangnya idealisme dalam politik ternyata tak hanya ada di badan legislasi, tapi masyarakat kita sekarang sudah "rusak" pula pemahamanya tentang berpolitik. Mereka sangat pragmatis siapa yang berani bayar akan mereka pilih. Tidak perlu dibayangkan terlalu mendalam, he4... 50 ribu untuk sebuah suara di bilik pencoblosan menjadi cendawan di musim penghujan, bak jamur di kayu mati politik uang sudah mendarah daging di kalangan bawah. Bahkan penulis sendiri mendengar pengakuan, mereka (masyarakat) dikoordinir tokoh panutan untuk memilih salah seorang caleg, dengan jaminan jalan meraka akan diperbaiki sebelum pemilu atau kelompok tani mereka dapat subsidi pupuk sebelum pemilu, dalam istilah akuntansi utang di bayar muka mungkin...he4


Dalam memilih, sadar atau tidak sadar kita digiring memilih orang-orang yang juah dari kata kenal. Jangankan visi dan misinya, bagaimana karakter dan tabiat kita tak bisa tahu, partai politik sepertinya memberikan pilihan sambil menutup mata kita dengan kain hitam berlapis-lapis (ratusan, he4... kaya wafer T*ngo ajah). 
Mungkin harapan kita satu-satunya adalah pada kaum muda, kaum terpelajar yang memiliki pemikiran terbuka dan idealis. Mereka belum terkontaminasi kejahatan pemikiran atau kebusukan kapitalis pengeruk uang rakyat yang bekerjasama dengan legislator untuk memuluskan jalan. Benar kata Soekarno, dalam kebusukan politikus tua selalu ada harapan dari kaum muda yang memiliki pemikirian segar dan idealis akan datang dan membawa perubahan bagi bangsa ini. Semoga...



Sumber :
Gambar atas diambil dari www.globalindonesia.com
Gamabar bawah diambil dari www.berdikarionline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...