2 Mei 2012

Istanbul Part 4 : Hagia Sofia


Dalam kesempatan ini saya ingin menceritakan perjalanan saya ke museum yang menjadi ikon Istanbul bahkan mungkin Turki, museum Hagya Sofia. Perjalanan dimulai pukul 4 sore dari penginapan, ya maklum yang nganter tentu saja Mas Ayub harus kuliah di pagi hari, jadi sore menjadi pilihan terbaik. Justru ini yang saya inginkan, keindahan sejati Istanbul memang muncul kala malam menjelang.
Kali ini perjalanan menggunakan Trem, kendaraan seperti kereta namun jalanya pelan dan menyusuri tengah kota. Yah mirip Trem di Jakarta kala masih bernama Batavia, anda tentu tahulah maksud saya.
Kurang lebih 45 menit membelah kota Istanbul dengan Trem kita akan sampai di stasiun persis di samping Hagia Sofia, jalan kurang lebih 100 m kita akan sampai di pintu depannya. Salah satu yang saya kagumi dari negara Turki, adalah penataan transportasi-nya yang sangat bagus. Sudah sangat modern seperti kota-kota di Eropa pada umumnya. Sangat bersih, hanya satu kekurangan “MAHAL”. Untuk sekali jalan dibutuhkan sekitar 2 Turkish Lira yah sekitar 10 ribu rupiah jika kurs Rp.5000/TL. Selain itu gedung-gedung tua juga tertata rapi dan sampai saat ini masih digunakan untuk berbagai macam kantor pemerintah, museum bahkan ada yang digunakan sebagai restoran. Inilah cara orang setempat melestarikan sejarah masa silam dengan tetap memanfaatka dan merawatnya. Berbeda dengan negara kita yang bangunan-bangunan kuno yang terlantar, yang sesungguhnya menyimpan potensi wisata yang luar biasa. Misalkan Kawasan Kota Lama Semarang, yang sekarang mirip kota Chernobil setelah terkena ledakan reactor nuklir (he4, lebay), rusak tak terawat. Bahkan di Solo ada benteng yang mau dirobohkan dan diganti dengan mall, benar-benar picik. Yah itulah Indonesia, kapan kita ini akan sadar pentingnya memelihara sejarah negara sendiri?
Pukul 17.00 kurang lebih, kita telah sampai dikawasa Hagia Sofia yang menawan itu. Ciri khas dari kejauhan telah nampak, warna merah yang mendominasi ornament banguna.  Hagia Sophia, bahasa Arab: آيا صوفيا , (bahasa Turki: Aya Sofya; bahasa Yunani: Aγια Σοφία, "Kebijaksanaan Suci"), Sancta Sophia dalam bahasa Latin atau Aya Sofya dalam bahasa Turki, adalah sebuah bangunan bekas basilika, masjid, dan sekarang museum, di Istanbul (Wikipedia Indonesia, 2012).
Saat Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mehmed II pada hari Selasa 27 Mei 1453 dan memasuki kota itu, Mehmed II turun dari kudanya dan bersujud syukur kepada Allah, lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid yang dikenal dengan Aya Sofia. Jumatnya masjid untuk salat Jumat.
Berbagai modifikasi terhadap bangunan segera dilakukan agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan mesjid. Pada masa Mehmed II (1444-1446 dan 1451-1481) dibuat menara di selatan. Selim II (1566-1574) membangun 2 menara dan mengubah bagian bangunan bercirikan gereja. Termasuk mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit  Lantas selama hampir 500 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai mesjid. Patung, salib, dan lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat.
Pada tahun 1937, Mustafa Kemal Atatürk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Mulailah proyek "Pembongkaran Hagia Sophia". Beberapa bagian dinding dan langit-langit dikerok dari cat-cat kaligrafi hingga ditemukan kembali lukisan-lukisan sakral Kristen. Sejak  saat itu, Gereja Hagia Sophia dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah mempesona.
Didalam Hagia Sophia terdapat surat-surat dari khilafah Utsmaniyah yang berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pembawa suaka. Terdapat sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang dikeluarkan kepada kholifah. Surat tertua ialah surat sertifikat tanah untuk para pengungsi Yahudi pada tahun 1519 yang lari dari Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Al-Andalus. Surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah pasca Revolusi Amerika abad ke-18. Surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia pada 7 Agustus 1709. Surat yang memberi izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865).Belakangan mereka kembali ke wilayah khilafah. Peraturan bebas cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari suaka ke wilayah khilafah pasca Revolusi Bolshevik tanggal 25 Desember 1920 M.
Perjalanan inipun diakhiri pada pukul 20.00. Puas rasanya jalan-jalan ke Istanbul secara lengkap. Esok pagi kata mas Ayup saya akan diantar menuju k Ankara, jadi malam mini adalah malam terakhir saya menginjakan kaki di kota megah ini. Tujuh bulan lagi ketika saya kembali pasti kan ku kunjungi kembali tempat-tempat kejayaan Islam itu.

5 April 2012

Istanbul Part 3 : Masjid Sultan Ahmed Nan Megah


Istanbul tak henti-hentinya memancarkan keindahan dan daya tarik turisme sejarah. Setelah disihir oleh selat Bosporus “sang pembelah Eropa dan Asia” yang menyimpan sejarah ribuan tahun bangsa Romawi hingga Babilonia, sore ini kami berencana mengunjungi sebuah masjid yang sangat mashur di Turki tak lain dan tak bukan Masjid Sultah Ahmed. Masjid yang bisa dikenali dengan warnanya yang biru laut ini merupakan masjid kebanggaan Istanbul. 

Masjid Sultan Ahmed (bahasa Turki: Sultanahmet Camii) adalah sebuah masjid ibukota Kesultanan Utsmaniyah ( dari 1453 sampai 1923). Masjid ini dikenal dengan juga dengan nama Masjid Biru karena pada masa lalu interiornya berwarna biru. Masjid ini dibangun antara tahun  1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmed I, yang kemudian menjadi nama masjid tersebut. Ia dimakamkan di halaman masjid. Masjid ini terletak di kawasan tertua di Istanbul, di mana sebelum 1453 merupakan pusat Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantin/Bizantium. Berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta berdekatan juga dengan apa yang dulunya bernama Gereja Kristen Kebijaksanaan Suci (Hagia Sophia) yang sekarang diubah fungsinya menjadi museum.
Jaraknya cukup dekat dengan Istana Topkapı, tempat kediaman para Sultan Utsmaniyah sampai tahun 1853 dan tidak jauh dari pantai Bosporus. Dilihat dari laut, kubah dan menaranya mendominasi cakrawala kota Istanbul. Arsitek Masjid Sultan Ahmed, Sedefhar Mehmet Aga, diberi mandat untuk tidak perlu berhemat biaya dalam penciptaan tempat ibadah umat Islam yang besar dan indah ini. Struktur dasar bangunan ini hampir berbentuk kubus, berukuran 53 kali 51 meter. Seperti halnya di semua masjid, masjid ini diarahkan sedemikian rupa sehingga orang yang melakukan Salat menghadap ke Makkah, dengan mihrab berada di depan.
Pukul 4 sore kita berangkat “mlipir” pantai Bosporus nan indah dengan sambutan sunset. Jalan begitu ramai, karena malam minggu. Tak di Indonesia, di sini malam minggu juga merupakan ajang melepas penat selama sepekan bekerja atau sekolah. Orang-orang Turki berjejal datang ke restoran ikan untuk menikmati Hamsi nan terkenal itu, katanya mas Ayup sih ni ikan emang muncul di awal musim dingin dan rasanya paling enak adalah yang berasal dari selat Bosporus, dimana kami berpijak saat ini.
Tak lama sebelum magrib kami telah sampai di Masjid Sultan Ahmed. Hal pertama yang selalu diingatakan ustads ngajiku dulu, ketika sampai masjid jangan lupa sholat 2 rekaan tahyatul masjid. Nasihat itupun ku ikuti he4. Seperti masjid-masjid kuno di Turki, tak setengah-setengah dalam membangun tempat suci umat Islam ini. Dari desain, pilihan bahan bangunan sampai interior dan penataan konstruksi begitu diperhatikan. Detailnya yang menawan dan keindahan lukisan kaligrafi asli buatan tangan warisan Utsmaniyah tertabur rapi di dinding masjid. Memang meda rasanya Sholat ditempat yang bersejarah apalagi masjid di masa kejayaan Islam, sungguh berkesan di hati. Tak ingin cepat-cepat pulang rasanya ketika berada dalam masjid, ingin berlama-lama menikmati arsitektur masjid ini.
Jama’ah masjid besar ini cukup banyak ternyata, hingga 3 shof…, jangan bandingkan dengan masjid ditempat kita yang 1 shof ajah ga penuh..he4. Setelah sholat jama’ah magrib diselenggarakan, seorang qori’ membaca ayat-ayat Al Qur’an. Lantunan ayat bertalu-talu serasa mendamaikan hati.

Keluar masjid, tak beda dengan dalam masjid. Karya seni agung ini juga masih memancarkan keindahannya. Terutama enam buah menara menjulang mencakar langit, menegaskan bagaimana Islam begitu merasuk jiwa dan mengilhami penguasa waktu itu sehingga membangun sebuah master piece masjid Sultah Ahmed.
Puas tak terkira menelusuri Karya Keemasan Islam, perjalanan di akhiri dengan makan Pidie, mirip pizza, namun panjang 1 meter, wes…makanan apa lagi ini. Roti gandum hasil panggangan langsung oven kuno, ditaburi jamur, daging, sayuran tak lupa keju menjadikan roti ini luar biasa. Tak kalah dengan kebab yang meshur itu. Kenyang dan “gratis” he4, yah masih banyak tempat di Istanbul ini yang menunggu untuk dikunjungi, namun malem semakin larut, nampaknya perjalanan akan dilanjutkan besok.