3 Juli 2014

Menyoal Bid'ah Hasanah Sholat Tarawih

Reaksi spontan ketika kita ingatkan tentang larangan bid’ah, orang yang menyukai bid’ah akan berkata, “Yang dilarang itu bid’ah yang buruk, bid’ah yang baik tidak apa-apa”. Padahal Nabi Muhammad tidak pernah memperkenalkan pembagian dua bid’ah itu. Bahkan secara tegas hadits Nabi menunjukan kesesatan bid’ah secara mutlak. Beliau bersabda,
“…karena sesunggunya, setiap bid’ah itu sesat.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud)
Ibnu Hajar al Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak. Hal yang senada dikatakan oleh syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, “kata ‘setiap bid’ah’ mengandung pengertian yang bersifat umum dan mutlak, karena diperkokoh dengan kata yang menunjukan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat , yakni ‘setiap’.” Beliau juga menegaskan, “Maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid’ah hasanah, hendaklah dijawab dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah, maka taka da sedikitpun peluang bagi para ahlul bid’ah untuk menanggapi bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.”
Untuk itu, kalau mau membagi bid’ah menjadi dua, baik dan buruk, mestinya kata sesat juga dibagi dua, sesat baik dan sesat buruk. Tapi adakah sesat yang baik?


Adanya bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khatab r.a. yang mengatakan tentang sholat tarawih. “Ni’matul bid’ah hadzihi”, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Hal ini terbantah dengan berbagai sisi;
Pertama, kalaupun maksud perkataan Umar adalah seperti yang mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas r.a. bahkan pernah berkata , “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku katakan Rasulullah bersabda, kalian menyanggahnya dengan Abu Bakar berkata, Umar berkata.”
Kedua, yang dimaksud oleh Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, buka bid’ah secara syar’i. Seperti yang dikatakan Ibnu Katsier, “Kadang bid’ah disebut dalam pengertian bahasa, sebagaimana perkataan amirul mukminin Umar bin Khatab ketika mengumpulkan orang untuk shalat tarawih, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Ketiga, shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i. Karena amalan itu ada contohnya dari Nabi. Dalilnya adalah riwayat Aisyiah r.a. bahwa suatu malam Rasulullah SAW shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, maka banyak orang menjadi makmumnya, lalu mereka berkumpul pada hari ketiga dan keempat, tapi Rasulullah SAW tidak ke masjid. Ketika datang pagi, beliau bersabda, “sungguh aku tahu apa yang kalian perbuat semalam, dan tak ada yang mengahalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena khawatir jika shalat jamaah tarawih itu menjadi wajib atas kalian.”

Rasulullah SAW telah menjelaskan sebab beliau meninggalkan jamaah tarawih. Tatkala Umar melihat bahwa sebab yang menghalangi itu sudah tiada, maka Umar menghidupkan sunnah itu kembali. Berbeda dengan orang-orang yang mengamalkan amalan-amalan baru lalu dengan modal niat baik atau tata cara yang kelihatanya baik lalu menganggap telah menghidupkan sunnah sebagaimana Umar. Wallahu A’lam.

Gambar diambil dari : http://4.bp.blogspot.com/-I2oVQXdP4oY/ UdJ5lGRuZSI/AAAAAAAAFVs/ 4ECwGRHzzR8/s360/ribuan-umat-muslim-melaksanakan-shalat-tarawih-di-masjid-islamic-_110810213508-701.jpg

Menghindari Kata Tabu

Dalam rapat kerja para guru besar UI untuk menyusun pedoman dasar dalam pengusulan guru besar, berulang kali terucap kata butuh atau berbagai bentuknya : kebutuhan, dibutuhkan, membutuhkan. Namun, setiap kali pula muncul keberatan dari mereka yang merasa berasal dari lingkungan budaya Melayu karena kata itu dalam bahasa pertama mereka memiliki pengertian yang dianggap kurang sopan. Ternyata memang dalam berbagai bahasa Melayu kata butuh bermakna “kemaluan laki-laki”. Padahal, di daerah Purworejo, Jawa Tengah, ada kecamatan bernama Butuh!


Hingga saat ini keberatan atas pemakaian kata butuh itulah yang paling banyak diperhatikan. Artinya, walaupun kadang-kadang disertai dengan senyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak, penghindaran kata itu cukup berhasil. Demikian Juga dalam rapat kerja itu. Akhirnya disepakati yang digunakan adalah kata keperluan yang menurut riwayatnya merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Upaya menghindari pemakaian kata atau istilah yang konotasinya kurang baik, apalagi yang langsung terasa jorang “porno”,merupakan sesuatu yang terpuji. Namun, masalahnya, apakah itu senantiasa dilakukan mengingat banyaknya bahasa di Indonesia. Jika ada kata yang dalam bahasa tertentu berkonotasi baik, apakah ada jaminan dalam bahasa lain juga sama? Kata butuh yang di Jawa sampai menjadi nama kecamatan merupakan contohnya.
Pernah seseorang kawan ketika berceramah di pedalaman Kalimantan Selatan disambut senyuman yang kemudian pecah dalam derai tawa. Ia berbicara mengenai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Petani tentu tidak dapat melepaskan diri dari salah satu alat utamanya, pacul.  Sebagai orang Sunda, kebetulan ketika itu ia lupa bahwa dalam bahasa Indonesia alat itu disebut cangkul. Ternyata reaksi spontan yang diterimanya mula-mula senyuman, lalu derai tawa dan teriakan, “betul, Pak, pacul memang alat utama kita…!”
Di samping gembira karena ceramahnya ditanggapi dengan antusias, kawan itu terheran-heran mengapa tanggapan mereka demikian meriah. Ia kemudian bertanya kepada anggota penitia yang orang Banjar. Kawan itu akhirnya juga tergelak setelah diberi tahu bahwa kata pacul yang dalam bahasa setempat berarti “kemaluan laki-laki”. Maka, kata pacul  yang dalam bahasa Sunda bermakna baik-baik saja itu harus dihindarkan pemakaiannya di lingkungan penutur bahasa di Kalimantan Selatan.
Kita perlu bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapapun gembiranya, tidak akan mau bertempik sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya kata tempik  dalam bahasa Jawa bermakna “kemaluan perempuan”. Artinya, kita boleh saja bertempik sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa. Padahal, kata tempik  dalam bahasa Melayu berarti “sorak”, dan tempik sorak  semacam kata majemuk yang berarti “bersorak-sorak” atau “bersorak-sorai”.
Ketika seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut dengan momok, hadirat pun senyum dikulum, lalu cekikikan. Sambil berbisik diantara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam Bahasa Jawa sebagai "hantu” itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa Jawa, yaitu “kemaluan perempuan”.
Maka, ketika seseorang yang berasal dari Garut dalam lama mengembara di Jakarta pulang kampong lalu memancing bersama dengan (calon) mertua, kata yang keluar untuk mengatakan kegembiraan adalah mek yang ia peroleh selama di rantau. Ketika kailnya disanggut lele, ia berseru, “Lele, mek…!” Juga demikian ketika termakan kailnya ikan bogo “gabus” atau juga kancra “ikan emas”, ia berseru “Bogo, mek…!” atau “Kancra, mek…!” Namun, ketika makan umpannya seekor gurame, teriakannya berubah menjadi, “Guramey, euy..!” 

Gambar diambil dari : http://1.bp.blogspot.com/-WugTSWsc92I/TbY-XqXIfjI/AAAAAAAAAAQ/ DE9f8G_AO1s/ s1600/diam.jpg