Pak Jlembus
sedang kebingungan karena mendapat pertanyaan dari anaknya. Sehari semalam
sudah dia berfikir keras tentang pertanyaan yang sepele itu. Ustadz di ”sanlat”
anaknya menyuruh tiap malam untuk tadarus
Al Qur’an, sedangkan guru sekolahnya menyarankan tilawah Al Qur’an. Sebenarnya maksudnya apa?
Yang benar
“tadarus” atau “tilawah”?
Keduanya benar,
namun dari zaman dulu ketika penulis masih imut pun tadarus lebih dikenal dikalangan luas. Tadarus berasal dari kata daroosa-yadruusu,
yang artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji dan mengambil pelajaran.
Kemudian, mendapat awalan “ta’” yang akhirnya berubah menjadi tadaroosa-yatadaraasu, yang maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari lebih mendalam.
Makna tadarus lebih kepada saling belajar
dengan membaca bergantian ayat-ayat Al Qur’an dengan memperhatikan hukum-hukum
bacaanya dengan didampingi seorang yang fasih di bidang tajwid. Bisa juga di damping ustadz
yang ahli di bidang membaca Al Qur’an yang bertugas men-tashih Al Qur’an.
Sedangkan kalo
di pelosok Jawa Tengah sana, kata “ndarus” lebih populer. “Ta” dibuang di ganti
satu huruf “n” yang menjadikannya kata kerja, walaupun “tadarus” sudah
merupakan kata kerja. Tapi ngapain di pusingkan, karena “ndarus” kesannya lebih
membumi walaupun jadinya tak bermakna.
Jadi kita pake
yang bener aja yah, “tadarus” he4. Masa bodo juga orang Jawa mau ngomong apa.
Namun yang
terjadi di masyarakat saat ini, tadarus
lebih dipahami persis yang di tafsirkan KBBI yaitu membaca Al Qur’an secara
bersama-sama di bulan Ramadhan. Bodo amat pake ustadz atau tidak, masih mending mau baca Qur’an.
Kata yang lebih
tepat ketika membaca Al Qur’an dengan saling menyimak saja satu dengan yang
lain adalah dengan tilawah wal istima,
“membaca dan menyimak” kemudian saling mengoreksi sesuai pemahaman
masing-masing.
Tapi kalo sudah
mengerti hukum-hukum bacaanya, maka boleh membaca Al Qur’an sendiri inilah yang disebut tilawah, ingat kalo sudah mengerti
hukum-hukumnya. Kalo belum mengerti sebaiknya dimulai dari buku-buku belajar
mengaji atau mendengarkan murotal
saja, lebih bijaksana.
Tapi Pak Jlembus
masih bingung, dulu orang tuanya ketika menyuruh ke TPQ bukan buat tadarus, tapi disuruh ngaji. Bagaimana pula ini bedanya?
“Ngaji” jika
ditelisik maknanya, ternyata berasal dari bahasa Jawa. Ngaji dari kata “sanga” artinya sembilan dan “siji” artinya satu.
Bahwa “ngaji” dimaknai sembilan lubang dari tubuh manusia menuju ke satu
kebaikan yaitu Islam.
Istilah “ngaji”
sebenarnya kurang tepat jika dilihat dari EYD, kata yang tepat adalah
“mengaji”. Mengaji berasal dari kata “kaji” yang merupakan kata yang spesial,
karena memiliki 2 kata turunan yang mengalami peleburan dan tanpa peleburan
yaitu “mengaji” dan “mengkaji”. Berbeda dengan kata “kubur” atau kata lain
sejenis yang akan mengalami peleburan jika mendapat awalan “me-“ menjadi
“mengubur”.
KBBI memberi
penjelasan khusus. Kata ”mengaji” adalah kata kerja yang berarti membaca
(mendaras) sedangkan arti lainya adalah belajar membaca dan menulis tulisan
Arab. Sedangkan kata “mengkaji” lebih
tepatnya adalah memeriksa, belajar, mempelajari, menyelidiki, menguji atau
menelaah.
Jadi kalo kita
menyuruh anak kita ke TPQ gunakan kata “mengaji” bukan tilawah atau tadarus.
Perkara orang Jawa menyuruh anaknya “ngaji” ya suka-suka merekalah…he4…
Tapi pak Jlembus
masih ada yang mengganjal. Di radio sering mendengar kata “qiroah” dan
“tahsin”. Apa pula itu artinya? Pak lain kali pak ya...he4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...