5 Agustus 2011

RAMADAN ATAU RAMADHAN...?

Pak Brem punya masalah. "Bagaimana saya harus menulis Ramadan? Pakai dh atau cukup dengan d saja?"
"Mengapa repot, pak? semua koran menulis Ramadhan."
"Tapi dulu kita menulis tanpa h. Jadi, bagaimana ini?"
Pak Brem tidak salah. Orang yang mengalami zaman dulu tahu juga itu. Sekarang dimana-mana kita lihat Ramadhan. Ya mau apa lagi. Soal sisipan h seperti ini tidak bisa diatur, biarpun semua kamus menetapkan Ramadan. Tiap orang punya maunya sendiri, sebab bung h ini terlalu penting untuk disingkirkan. Dan peduli amat maunya rakyat Jiran. Biar saja koran Malysia selalu menulis Ramadan.
Itulah anehnya h. Di mandala Arab ada Ramadan, ada pula Ramadhan. Rakyat Pakistan menulis Ramazan! Bagaimana melafalkannya, kita tanya sajalah kepada mereka. Namun, kita sendiri dahulu juga menulis Ramadlan. Malah d-nya sering hilang dan, menurut kamus Zain, "rakyat biasanya menyebut bulan Ramalan". Nah, rakyat Jawa bilang, Ramelan. Jadilah ini nama ribuan orang.
Di tanah Sunda bulan suci ini biasa disebut Ramedan. Bunyi huruf e suka hilang, dan terdengarlah Ramdan. Bagus juga ini buat nama bayi, ya! Kita tengok saja buku telepon Bandung. Puluhan orang bernama Ramdan dan Ramdhan. Ada juga Ramdanah, Ramdani, dan Ramdini. Huruf h ini punya tempat khusus dalam bahasa kita. Biarpun tidak bunyi sebab Ramadan dan Ramandhan sama saja bunyinya tampilanya saja sudah menggetarkan. Seakan apa yang dimaksud kata ber-h itu menjadi lebih penting, lebih berharga, lebih besar, lebih tinggi, lebih anggun, lebih resmi, lebih terhormat, lebih agung. Ada nilai rasa khusus yang disandang bung h ini dalam bahasa kita. 
Kita bisa menuliskan darma, atau derma. Ada darmabakti, ada darmawisata. Namun, mengapa ditulis Dharma Wanita? mengapa orang menulis "lahir bathin?" Kita berbakti. Nyatanya sering kita lihat bhakti. Ada pula Graha Purna Yudha. Ada Buda dan Buddha. Sudah punya h, perlu dd lagi. Seorang pematung kita bernama Rita Widagdo. Eh, banyak orang suka menulis widagdha. Padahal bunyi d dan dh dalam widagdha ini harus sama, tidak boleh beda! Biar saja, peduli amat. Yang dicari itu gagahnya kok.
Ada batara dan bhatara. Ada busana dan bhusana. Rupanya gejala h ini banyak muncul pada nama. Semua ini mestinya pengaruh dari cara kita mengeja kata-kata Sansekerta dan Jawa kuno. Bahasa Purba memang keramat, sekeramat bahasa Latin. Sakti, kata orang. Lucunya, di Barat ada pula gejala h. Sebagian koran sana menulis Bagdad, sebagian lagi Baghdad. Ada Afganistan, ada juga Afghanistan. Namun, ini bukan perkara selera pribadi. Ini ketentuan berbagai bahasa sana. Atas dasar apa, entahlah. Sikap koran kita sekarang, mendingan ikut yang ber-h saja. Ajaib!
Akar kata Ramadan ini menarik sekali. Ada seorang Arab yang menguraikannya, Abdulhamid Mukhtar. Kara ramadhan berasal dari kata Arab ramida atau arramad, ujarnya. Artinya kekeringan dan panas amat sangat, terutama tanah. Sekarang, kita harus menduga saja apa hubungannya dengan puasa. Pertama, yang kering itu juga kerongkongan, oleh sebab lama tidak makan dan minum. Yang panas itu membakar segala dosa. Ini baru tafsir sederhana saja.
Lucunya lagi, kita menyebut Ramadan sebagai Bulan Puasa. Sumber kata Puasa itu sendiri bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Kawi. Kata Arabnya sendiri, siyam, dipungut bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan mungkin bahasa lain juga di Nusantara. Orang Sunda bilang siyam, dan orang Jawa siyem. Ada lagi pengutan Arab yang dipakai orang Sunda dan Jawa, yaitu saum. Ini diartikan puasa juga.
Pak Brem belum habis soal. "Sekarang ini diradio banyak orang bilang Romadon. Apakah menulisnya harus Romadhon?" 
Ah, sudahlah pak. Pusiiing!
Gambar diambil dari : http://storymoryrab.blogspot.com/2011/08/ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...