Hari
berganti hari dan kita tetap mengerti, apa sebenarnya yang kita cari dan
ingini. Pencapaian yang tampak begitu membanggakan, adalah jebakan tak
berkesudahan akan keinginan selainnya yang lebih lagi. Jika mampu, kita ingin
mereguk yang lebih melimpah, lebih mewah, lebih indah dan sejuta lebih-lebih
lain. Dalam bilangan tak terhingga tanpa kenal batas tepi. Dan bukankah memang
akan selalu begitu, keadaan para penghamba dunia?
Kemudian
kita melupakan hal yang paling asasi, mengenal dan mencintai Allah. Pondasi
utama dari sebuah tugas besar dan tujuan penciptaan, beribadah kepada-Nya.
Berbakti, mengabdi, pasrah, menyerah sepenuhnya. Yang keberadaannyalah esensi
dari keberhasilan dan rasa kenikmatan. Dan kehilangannya meniscayakan kegagalan
dan hampa akan semua yang bisa dirasakan.
Tapi
bagaimana jika kesibukan kita, bukanlah pengejawantahan dari nilai-nilai kepasrahan itu? Tak jelas mau kemana, bias
dalam seluruh tatanan nilainya. Hingga perasaan berarti yang palsu dan menipu,
namun membelenggu karena pemahaman yang keliru. Apakah seperti ini yang memang
seharusnya kita lakukan di dalam hidup. Sebagai manusia, atau sebagai hamba
Allah?
Yang
akhirnya, membuat kita tak sempat melakukan taat. Tak sabar untuk belajar. Tak
punya waktu bahkan sekedar berwudlu. Kita gunakan semua waktu untuk memburu.
Kita pakai semua angan untuk merancang. Juga semua cita-cita untuk meraja di
dunia. Kita takut kehilangan, hingga menjadi rakus dan buas. Semua harus
diberangus, semua harus dilibas, siapapun yang kita anggap menjadi penghalang.
Tapi bagaimana jika itu adalah tatanan syariat dari Yang Maha Membuat, Yang
Maha Menjadikan? Yang semestinya menjadi penyikap hakikat dan penunjuk jalan
yang terang?
Belumkah
kita menyadari jika semua itu adalah hukuman sebab kita meremehkan iman? Menganggap
tidak penting untuk belajar mengenal, mencintai hingga menyerahkan diri kepada
Allah? Adakah hal yang lebih menakutkan daripada manusia yang kehilangan, sebab
tak membutuhkan, bimbingan Sang Maha Rahman dalam hidupnya?
Hingga
kesibukan yang terus bertumpuk dan tak pernah usai, harus kita hadapi sebagai
sebuah kensekuensi. Menghabiskan umur untuk semua yang tak kita bawa ke kubur.
Untuk semua yang tidak pernah membuat kita puas. Tidak menenangkan jiwa dan
membuat dada lega. Bahkan untuk semua yang akhirnya kita sesali.
Maka,
perlombaan itu ada dalam kebaikan, kompetisi itu ada dalam kebaikan, kompetisi
itu dalam ketaatan, dan kemenangan itu dalam ketakwaan. Tidak selalu harus
mengalahkan orang lain, jika sebagian besarnya justru mengalahkan diri sendiri.
Membersihkan kalbu agar bisa menyatu dengan arahan Yang Maha Tahu. Menambah
kecerdasan agar kesibukan kita tak kehilangan arah.
Sebab
hanya ada satu arah yang pasti : Kepada Allah, semua manusia akan kembali. Tapi
kenapa kita tetap tidak menyadari dan mengerti?
Pustaka :
Gamba diambil dari : http://www.wiranurmansyah.com/wiranurmansyahcom/wp-content/uploads/2013/09/17-bajo_05.jpg