Siapa
yang tak tahu Indonesia yang sejak dahulu kala menjadi rebutan bangsa asing
karena kekayaan alamnya. Zamrud Khatulistiwa ini begitu menakjubkan,
sampai-sampai pedagang dari Eropa dan Afrika rela berlayar berbulan-bulan demi
mencapai Indonesia, demi rempah-rempah yang saat itu seharga emas.
Nusantara
yang begitu makmur di bawah panji kerajaan-kerajaan Islam dan sultan-sultan
yang adil, benar-benar mencerminkan gemah
ripah lohjinawi, semua rakyat makmur, cukup makan dan sejahtera lahir batinnya.
Hingga kedatangan kaum kapitalis Portugis yang membawa semangat Gold, Glory dan Gospel ditahun 1512. Mulanya
Portugis berdagang dengan penduduk lokal dan menjalin mitra dengan mereka.
Kemudian otak licik mereka bekerja, tak lagi berdagang dengan adil, mereka
mulai memonopoli perdagangan, semua perdagangan mereka kuasai. Kekuatan militer
dan lobi terhadap penguasa lokal menjadikan mereka punya taring di pelabuhan.
Ketika
pelabuhan sudah dikuasai, mereka mulai membangun benteng dan melancarkan misi
mereka dengan menguasi wilayah perdagangan sebagai jajahan. Dengan persenjataan
lengkap mereka dengan mudah menaklukan raja sebagai penguasa lokal. Mereka mau
tidak mau membiarkan program commonwealther
dalam melancarkan rencana eksploitasi terhadap rakyat. Tanam paksa dan kerja
paksa, siasat biadap penjajah pemasung kebebasan tanpa nurani. Begini keadaan
rakyat nusantara hingga berganti tirani
Kemudian
Belanda datang setelah mengusir Portugis pada tahun 1602. Kekalahan Portugis memaksa mereka
angkat kaki dari Nusantara dan menyerahkan kekuasaan kepada Hollanda. Ditangan
Belanda, kita terjajah hingga 3 abad. Dibawah VOC (Verenigde Oost indische Compagnie) kita termonopoli dan terpasung
kebebasan hingga melewati dua kali perang dunia. Lebih kejam, lebih nggegirisi,
karena tindakan mereka yang semena-mena terhadap rakyat. Taktik keji devide et impera dilancarkan kumpeni,
mengadu domba kemudian menguasai menjadi metode jitu hingga kekuasaan langgeng
hingga 30 dekade. Mereka sadar bahwa nusantara beragam dan penuh perbedaan.
Bangsa ini dahulu belum sadar, perbedaan adalah sebuah senjata dan kekuatan
maha dahsyat yang mampu mengalahkan kekuatan asing manapun, persatuan adalah
bahasa yang belum dikenal, bahkan belum ada dalam angan pemimpin saat itu.
Inlander,
begitu istilah yang disematkan kepada kaum pribumi nusantara. Julukan yang
sebetulnya bermakna sangat menyakitkan, bermakna sangat menyayat bagi harkat
dan martabat bangsa ini. Inlander yang
berarti jajahan, bawahan, suruhan dan makna konotatif tertuju pada “budak”.
Budak yang dikuasai sepenuhnya, dikuasai dari semua segi hingga hak asasi
manusia. Belanda saat itu mengeruk habis kekayaan kita dan membawa ke negeri
mereka, dan dengan bangganya mereka menyebut DAM yang mereka bangun di negera asal
mereka sebagai kekayaan dan kehebatan. Mereka hanyalah lintah, drakula
penghisap darah yang berhutang banyak pada nusantara. Van den Bosch yang
membantai jutaan rakyat dalam kerja paksa mereka anggap pahlawan.
Didikan
kolonialisme Belanda, yang sangat menjerumuskan. Tengok saja, mental terjajah
begitu mendarah daging, mental takut menentang kaum kapitalis masih tersisa,
bahkan dalam jiwa pemimpin dan wakil kita di eksekutif dan legsilatif saat ini.
Mental
inlander yang akut ini tercium oleh
Freeport persahaam tambang asal negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Bayangkan,
tambang emas dan logam mulia dari bumi nusantara dikeruk hampir 30 tahun
terakhir dan kita hanya kebagian upeti 1%, berton-ton mineral berharga yang
tertambang, kita hanya kebagian hitungan kilogram. Pemimpin sepertinya tak
pernah mendengar suara bawah yang menginginkan tambang itu kepangkuan ibu
pertiwi.
Ketika
kontrak karya Freeport Mcmoran akan segera berakhir di 2021, otak licik
Freeport mulai bekerja. Tengok saja, seorang legislator dari partai beringin,
yang notabene adalah ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang
terhormat, mencatut nama Presiden untuk memperpanjang kontrak karya Freeport
hingga 2040. Dengan dalih mendapat upeti 18%, mereka beralasan dan berani
mencatut nama Presiden, sebuah entitas lembaga tinggi negara, yang lebih dari
itu adalah penghinaan terhadap rakyat negeri ini.
Setelah
ketahuan belakangnya, sebut saja Setya Novanto, tak juga malu dan mengundurkan
diri. Partai kuning bekas penguasa membawa kasus ini ke dalam MKD (Majelis
Kehormatan Dewan), yang jelas sama busuk otaknya. Telah diduga sebelumnya, SN
bebas melenggang, tanpa hukuman berarti. Hanya pencopotan jabatan ketua, tapi
tetap menjadi anggota dewan di Senayan.
Meskipun
kadang cinta tak ada logika, tapi tindakan MKD ini lebih tak bernalar dan
bernuarani. Jika seseorang mencemarkan nama baik ketika salah sebut di media
sosial seperti kasus para artis saja, bisa dituntut ke meja hijau, apalagi ini
kasus mencatut nama, menggunakan legalitas dan kewenangan presiden untuk
kepentingan perutnya, kenapa hanya dijatuhi hukuman pencopotan jabatan.
Selayaknya orang macam ini dihukum mati atau minimal seumur hidup dipenjara.
Apa akibatnya jika kasus ini dibiarkan, semua orang yang berakal bulus di DPR
akan mencatut nama presiden sebagai legalitas tindakan mereka yang bernafsu
menjarah bangsa mereka sendiri.
Inilah
mental inlander, mental budak terjajah, belum bebas dan tidak merdeka secara
hakiki. founding father bangsa ini telah berpesan dalam UUD 1945 pasal 33,
bahwa kekayaan nusantara harus dikembalikan demi kesejahteraan rakyat. Tapi
yang mereka perbuat sungguh jauh panggang dari api. Apa yang diramalkan oleh
Ranggawarsito dalam bukunya, bahwa kelak bangsa ini akan dijajah lagi bukan
oleh bangsa asing saja, namun ada yang lebih kejam, yaitu oleh bangsanya
sendiri. Kini, dalam perkembangannya, SN menuntut menteri ESDM yang menjadi
wistle blower dalam kasus ini, pengungkap fakta kebusukan kader Partai Golkar. Bagaimana
mungkin penjahat macam ini laporanya bisa diterima oleh kejaksaan? Miris.
Apa
yang terjadi di dewan ini adalah menguak betapa bobrok dan buruknya kualitas
dan nurani dari kaum legislator. Apa yang mereka kejar dan perjuangakan selama
mereka duduk di kursi terhormat? Yah, kejar setoran dan balik modal, sehingga
apapun akan dilakukan demi mendapat upeti dari proyek yang mereka kerjakan.
Institusi DPR telah berubah menjadi lembanga pengejar rente, pengejar provit,
tak ubahnya makelar, makelar yang tega menghisap darah rakyat yang telah
mempercayai mereka menjadi wakil yang akan memperjuangkan nasib dan kemajuan
bangsa ini.
Ironis,
tapi ini bukti kegagalan proses demokrasi. Demokrasi yang mahal dan
berorientasi materi menjadi pangkal. Rakyat yang memilih karena money politic,
kini merasakan efek domino proses yang juga mereka dukung dimasa pemilu. Kita
seharusnya belajar, mereka yang menginginkan amanah dengan cara menyuap pemilih
akan menghasilkan kinerja yang buruk. Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap
bahwa bangsa ini akan segera sadar dan tidak terjerumus lebih dalam masuk ke
lembah kenistaan. Semog Alloh SWT lindungi bangsa dan rakyat bangsaku ini.
Amin.
Gambar diambil di : http://www.luwuraya.net/wp-content/uploads/2014/10/setyanovanto.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...