Hal dalam bahasa Arab adalah hidup seseorang di kedalaman jati dirinya dengan berbagai anugerah dari
Alam Baka, serta merasakan dan memiliki kesadaran atas berbagai perbedaan
antara “malam” dan “siang”, “pagi” dan “petang”, yang terjadi di dalam
cakrawala hatinya. Orang-orang yang memahami “hal” sebagai sesuatu yang meliputi hati manusia, baik berupa
kesenangan, kesedihan, kelapangan, atau kesempitan yang terjadi begitu saja
tanpa ada upaya atau pun usaha. Mereka juga menyatakan bahwa “Maqam” itu ada jika kejadian dan
intuisi berlangsung terus menerus secara berkesinambungan dan stabil, sedangkan
nafsaniyyah akan muncul sewaktu-waktu, bersifat tidak permanen dan muncul dari
hawa nafsu. Hal bersifat berkesinambungan ketika keberadaannya bersama maqam,
sementara hal akan hilang jika muncul dengan “kedirian” (annafsiyyah) kita.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat dikatakan bahwa hal adalah sebuah anugerah ilhiyah yang merasuk ke dalam relung hati. Sementara “maqam” adalah sampainya manusia pada fitrahnya yang kedua dengan menyerap anugerah Illahi tersebut dengan kehendak dan tekad seseorang hingga ia menguasai jati dirinya.
Istilah
“Al Hal” dipakai untuk menunjuk pada
sumber segala sesuatu tanpa tirai dan hijab, sebagaimana ia terdapat di dalam
makhluk, kehidupan, cahaya dan rahmat, yang selalu mengingatkan kearah tauhid
yang murni, sebagaimana ia senantiasa mengarahkan manusia agar memiliki
kekuatan spiritual dalam melakukan pencarian alternatifnya.
Sedangkan
“al Maqam” menentukan dan
memutuskannya dalam lentera yang diliputi “kabut” kerja keras dan “asap” usaha,
untuk kemudian mengikat hakikat dengan singgasana kesempurnaanya. Oleh sebab
itu, maka persepsi dan intuisi terhadap berbagai anugerah Illahi yang mengalir
ke dalam hati, dan perjalanan menyusuri jalan disetiap saat, menuju Dia yang di
dalam hati dikenal dengan pernyataan “Aku adalah harta tersembunyi” merupakan
satu tahapan yang lebih mulia disebabkan berbagai anugerah yang ada di dalamnya
dibandingkan diri kita sendiri dan interpretasi sesuai corak yang kita miliki.
Itulah
sebabnya, Sayyidina ash-Shadiq al-Mashduq Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh
kalian dan tidak pula ke penampilan kalian, tetapi Dia melihat ke hati kalian”
(HR. Muslim dalam Al-Birr 33). Sabda Beliau ini mengingatkan kita pada apa
sebenarnya yang penting bagi Allah al Haqq Subhanahu wa ta’ala. Di samping itu
beliau juga menuntut kita untuk mengarahkan pandangan menuju at-tajalli pada
yang menjadi arah yang harus dituju oleh semua “mihrab” ibadah kita.
Dalam
sebuah riwayat lain Rasulullah Shallalluhu’alaihi wa sallam menyebutkan amal
perbuatan bersanding dengan hati. Beliau bersabda, “sesungguhnya Allah tidak melihat ke penampilan kalian dan harta kalian,
melainkan Dia melihat ke hati dan amal perbuatan kalian” (HR. Muslim dalam
Al Birr 34). Sabda ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap maqam, serta
demi kepentingan hal yang menghantarkan manusia kepadanya.
“Al-Hal” adalah berbagai tajalliyat yang
terjadi pada saat-saat persesuaian dengan Kehendak Ilahi yang mutlak. Ia juga
adalah ranah penyebaran tajalliyat
tersebut di dalam cakrawala hati manusia. Sebaliknya, perasaan atau persepsi
selalu mengurangi dan menghilangkan semua tajalliyat
itu. Oleh sebab itu, maka maqam yang menjadi salah satu tahap di mana “gelombang”
sudah reda, menjadi antonim bagi “hal”
yang merupakan semacam ayunan antara pasang naik dan pasang surut yang berhubungan
dengan berbagai entitas yang lebih tinggi.
Setiap
panampakan dan kemunculan datang dalam bentuk baru yang selalu berbeda dari
yang sebelumnya. Ia selalu beralih dari tampak lalu bersembunyi seperti spektrum
cahaya yang memiliki panjang gelombang dan warna bermacam-macam meski semuanya
berasal dari satu matahari yang sama.
Ruh
dan perasaan yang mawas terhadap ma’rifat
Ilahiyah akan mampu melihat gelombang “hal” ini di dalam relung hatinya,
seperti mata melihat spektrum cahaya matahari yang memantul di permukaan air. Manusia
dapat melihat, merasakan dan meresponya dengan berbagai macam kemampuan
persepsi yang dimilikinya. Itulah sebabnya, orang-orang yang hati mereka masih
terputus dari alamnya yang sejati, biasanya akan melihat itu sebagai fantasia
tau khayalan belaka. Padahal itu adalah hakikat paling hakiki (ahaqq al haqaiq) dan penampakan paling
jelas bagi mereka yang melihat entitas menggunakan Cahaya Kebenaran yang Sejati
(Nur Al-Haqq al-Mubin).
Itulah
sebabnya, Rasulullah sebagai manusia yang memiliki “hal” terbesar di antara
semua manusia, Beliau selalu melihat hal-nya dimasa lalu dengan keadaan hal-nya
disaat ini, seingga beliau bersabda, “demi
Allah, sesungguhnya aku beristigfar kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya
dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali”, (HR. Bukhari, Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ibu Majah dalam Al-Adab 57).
Ya
tidaklah mungkin sebongkah hati yang suci dan disucikan Allah dapat memikirkan
pikiran selain dari pikiran seperti itu dalam perjalanannya menuju keabadian
dan dengan kesadarannya atas kebutuhan pada cahaya keabadian.
Daftar Pustaka :
Imam Al Muslim. Al Birr : 33 dan 34
Imam Ibnu Majah. Al Zuhd : 9
Imam Ahmad. Al Musnad 2:285, 539
Muhammad Fetuhullah Gulen, Bukit-bukit Zamrud Kalbu dan Mata Air. 2016.
Daftar Pustaka :
Imam Al Muslim. Al Birr : 33 dan 34
Imam Ibnu Majah. Al Zuhd : 9
Imam Ahmad. Al Musnad 2:285, 539
Muhammad Fetuhullah Gulen, Bukit-bukit Zamrud Kalbu dan Mata Air. 2016.