Karena
merasa jatuh cinta akhir-akhir ini, penulis tertarik menulis tentang
pernikahan, he4… bukan apa-apa, tapi perasaan cinta kali ini berbeda, saya
sangat serius, meskipun target belum memberi respon positif atau negative
(semoga positif, amin). Karena ane gak punya channel buat ta'aruf (ngedeketin), jadi deh ane pake cara2 konvensional ala2 anak muda gitu (penulis emang anak muda), tapi emang susah kawan...Doi ni aktivis dan punya komunitas yang bakal susah di tembus orang awam kaya ane, tapi biarlah..., bukankah Allah yang menentukan, perjuangan harus sampai akhir, semoga Allah merahmati, amin. Kali ini kita akan bicara tentang sebuah kalilmat
Mitsaqan Ghaliza, terima kasih sudah membaca.
Kalimat
mitsaqan ghaliza atau “perjanjian
yang kokoh”, “perjanjian yang agung”, “perjanjian yang berat” adalah kalimat
yang sering kita dengar yang lazimnya dituturkan oleh seseorang saat memberikan
nasihat atau pesan pernikahan. Kaum muda yang hendak menempuh hidup baru amat
penting memahami tema yang satu ini, agar pernikahan yang akan dijalani tidak
“sembarang” dan asal mendapat peresmian dari orang tua, keluarga atau negara.
Para
qadi/penghulu dan alim ulama menganggap amat penting untuk menyebut dan
menerangkan kalimat ini, sebab memang hakikat pernikahan di dalam Islam yang
ditandai dengan ijab dan qobul itu adalah merupakan refleksi dari sebuah
perjanjian yang kokoh antara hamba terhadap Allah SWT melalui tatacara
pengucapan “janji suci” oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, dalam sebuah prosesi akad nikah.
Dalam
surat An Nisaa termaktubkan untaian kalimat, “Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
sebuah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza).” (QS.An Nisaa : 21).
Maka
tidaklah salah manakala kita kemudian menganggap bahwa sebuah ikatan perkawinan
antara seorang pria dan perempuan secara sah itu menjadi sesuatu kejadian amat
sacral. Sakral bukan pada suasana kejadiannya yang biasanya menghadirkan nuansa
yang penuh keharuan, akan tetapi menjadi sacral lantaran terjadi karena adanya
perjanjian antara seorang laki-laki terhadap perempuan yang dinikahinya yang
dilakukan secara imani dengan “mengatasnamakan Allah” Yang Maha Tau, lagi Maha
Melihat.
Konteks
kalimat mitsaqan ghaliza di dalam Al
Qur’an terbaca sebanyak tiga kali dalam tiga fase kejadian atau peristiwa yang
berbeda-beda, yakni Satu, sebagaimana dalam prosesi akad-nikah. Dua, perjanjian
yang Allah ambil dari para Ulul Azmi dalam mengemban amanah penegakan (idzarul)
Ajaran Allah.
Dalam
Al Qur’an dinukilkan, “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam,
dan Kami telah mengambildari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. AL Ahzab : 7).
Dari
ayat di atas ini kita dapat mengetahui betapa para rasul yang mendapat julukan
ulul azmi berkat ketabahan dan keuletan yang luar biasa dalam melaksanakan
tugas-tugas dakwahnya, adalah rasul-rasul yang sedemikian kuat dalam meneguhkan
dirinya dalam menjalankan misi pengembanan Risalah Allah di muka bumi pada
zamannya masing-masing. Pada kelima Rasulullah itu, masing-masing menghadapi
situasi yang amat keras dengan tingkat perlawanan dari kaum yang didakwahi juga
sedemikian hebat. Namun mereka berhasil menjalankan misi berkat keteguhan hati
dan kualitas keimanan yang tinggi. Dari penyikapan pada rasul ulul azmi itu
Allah pun mengangkat perjanjian yang teguh dari mereka.
Tiga,
perjanjian dan sumpah setia dari Bani Israil untuk memurnikan ketaatan dan
kepatuhan kepada Allah semata. Perhatikan ayat berikut, “Dan telah Kami angkat
ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah
Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : “masuklah pintu
gerbang itu sambil bersujud,”, dan kami perintahkan (pula) kepada mereka
:”janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu,” dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh,” (QS. An Nisaa : 154).
Peristiwa
ini merupakan bentuk karunia Allah terhadap Bani Israil yang telah memberi
kesempatan untuk mereka “memperbaiki diri” sebagaimana dijelaskan dalam surat
Al Baqarah ayat 58 yang berbunyi “ Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman :
Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya,
yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya
sambil bersujud (menundukan diri) dan katakanlah : Bebaskanlah kami dari dosa,
niscaya Kami ampuni kesalahan – kesalahanmu dan kelak Kami akan menambah
(pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Pelajaran
yang dapat diambil adalah ikatan perjanjian yang kokoh, teguh, kuat (mitsaqan
ghaliza) adalah sebuah bentuk komitmen pengikatan diri untuk kita atau siapapun
tiada bergeser dari apa yang diperjanjikan atau yang disepakati.
Ini
soal konsistensi sikap diri dalam berkehidupan. Betapa sebuah perkawinan
misalnya, tentu tidak boleh dijadikan “barang mainan” atau sekedar coba-coba,
apalagi diimbuhi dengan kalimat “apa boleh buat” atau “bagaimana nantinyalah,
yang penting kawin saja dulu”. Jangan seperti itu. Tapi jadikan jenjang
pernikahan sebagai komitmen hidup yang berkesungguhan, karena bukankah Allah
SWT juga menjadi saksi?
Begitupun
halnya dalam kaitan seseorang mendapat amanah kepemimpinan di republik ini,
jangan main-main dan jangan asal. Sebab akan bertambah rusak negeri ini
manakala kita atau siapapun tidak sungguh-sungguh dan konsisten pada sumpah dan
janji jabatan yang telah diucapkannya.
Fattaqullaha
mastha’tum.
Daftar pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...