Dalam sebuah resepsi pernikahan, sering terdengar celoteh baku si pembawa acara, “Pada kesempatan yang berbahagia ini, pertama-tama marilah kita
panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah…”
Berpanjang-panjang
dengan celoteh yang tak mengundang kejutan, si pembawa acara akhirnya
membebaskan tamu dari rasa bocan ketika menyelesaikan kalimat penutupnya : “Sekarang tibalah saatnya bagi Ibu-ibu,
Bapak-bapak, dan hadirin sekalian untuk menyampaikan ucapan selamat kepada
kedua pengantin yang berbahagia.”
Dua kali ungkapan yang berbahagia dilafalkan,
masing-masing menggandeng kata kesempatan dan pengantin. Pengantin yang
berbahagia bermakna “pengantin yang
merasa bahagia” atau “pengantin yang
merasakan kebahagiaan” (merasa dan merasakan digunakan seperti mendengar
dan mendengarkan). Namun, kesempatan yang
berbahagia tidak mungkin dipahami sebagai “kesempatan yang merasa berbahagia” atau “kesempatan yang merasakan kebahagiaan.”
Yang
berbahagia pada pengantin
yang berbahagia berterima karena pengantin adalah nomina insani yang
bersenyawa, sedangkan kesempatan bukanlah nomina yang insani dan bersenyawa.
Berdasarkan kriteria itu, pemimpin dan rakyat atau polisi dan pencuri dapat
berbahagia, bergembira, atau bersedih, sementara kesempatan dan peluang atau
persitiwa dan kejadian tidak mungkin berperang sebagai konstituen kalimat yang
mampu menanggung beban emosi seperti itu.
Dimanapun dan kapanpun
kesempatan tidak akan pernah berbahagia. Ia hanya memiliki potensi untuk
membuat kita sedih, gembira, atau bahagia. Pada saat itulah kita bertemu dengan
kesempatan yang menyedihkan, menggembirakan atau membahagiakan.
Sara saya kepada si
pembawa acara : gantilah celoteh anda dengan “Pada kesempatan yang membahagiakan ini, pertama-tama marilah kita
panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah…”
Dari persoalan siapa yang berbahagia kita beralih pada
masalah siapa membohongi siapa yang
bentuk pengungkapannya mungkin belum memberikan ketenangan batin bagi sebagian
diantara kita. Ketika seorang pejabat atau tokoh masyarakat memberikan
penjelasan atau ketenangan batin bagi sebagian diantara kita. Ketika seorang
pejabat atau tokoh mesyarakat memberikan penjelasan atau keterangan yang tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya, dengan serta merta kita pun mengemukakan
penilaian dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan telah melakukan kebohongan publik. Kalau dianalogikan
dengan kekayaan pribadi yang bermakna
“kekayaan milik pribadi”, maka kebohongan publik tidak dapat
ditafsirkan lain kecuali “kebohongan
milik public atau milik masyarakat.”
Tafsiran yang demikian
akan memunculkan pertanyaan bernada protes ihwal siapa yang dibohongi publik atau
kepada siapa publik berbohong karena hakikatnya, penggunaan kebohongan publik telah mengakibatkan terjadinya pemutarbalikan
(dilihat dari segi kebenaran) atau pemutarbalikan peran (ditinjau dari sisi
partisipan komunikasi). Kalau yang hendak diungkapkan ialah konsep yang merujuk
pada proses, cara atau perbuatan membohongi publik, yang harus digunakan ialah pembohongan publik.
Kerancuan berbahasa
pada dasarnya identik dengan ketidakcermatan berbahasa. Penyebabnya, kita
jarang atau bahkan tidak pernah mempertanyakannya, termasuk kepada diri kita
sendiri. Atau boleh jadi hal itu memang tidak perlu dipersoalkan. Bukankah kita
sudah terbiasa dengan cara berbahasa seperti itu? Bukankah orang lain pun
berbahasa dengan cara yang kurang lebih sama seperti kita? Dan karena bahasa
merupakan perwujudan dari konvensi atau kesepakatan bersama masyarakat
penuturnya, bukankah perilaku berbahasa yang kolektif seharusnya lebih penting
dari lebih bermanfaat daripada yang tidak “guyub”?
Fungsi utama bahasa
selain sebagai sarana berkomunikasi, juga sarana berfikir. Muaranya kecermatan
berbahasa. Dalam konstelasi itu, agaknya kita perlu memahami yang tersurat dan
tersirat di balik pandangan seorang wakil Papuan pada Kongres Kebudayaan di
Bukittinggi tahun lalu. Seperti yang dilaporkan Rosihan Anwar di Kompas pada 6
November 2003, wakil Papua itu berucap : “kami
menyesal belajar bahasa Indonesia secara baik dan benar karena kemudian
terbukti di luar kami, bahasa Indonesia mereka sangat kacau.”
Daftar Pustaka :
Gambar diambil dari : https://nasrulchair.files.wordpress.com/2011/02/nasrul-saat-sambutan.jpg
Artikel disadur dan diolah dari Kolom Bahasa Kompas
Daftar Pustaka :
Gambar diambil dari : https://nasrulchair.files.wordpress.com/2011/02/nasrul-saat-sambutan.jpg
Artikel disadur dan diolah dari Kolom Bahasa Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...