Penggunaan
obat-obatan yang mengandung alkohol masih banyak diperbincangkan tentang status
halal-haramnya. Hal ini dipicu oleh anggapan bahwa alcohol sama dengan khamr.
Padahal, kenyataanya ada beberapa perbedaan. Yang jelas, alkohol bukan
satu-satunya zat yang memabukkan. Ada banyak zat yang juga bisa memabukkan.
Dalam
dunia medis, alkohol digunakan sebagai antiseptik. Bahkan alkohol merupakan
jenis antiseptik yang cukup berpotensi. Cara kerjanya, alkohol menggumpalkan
protein, struktur penting sel yang ada pada kuman, sehingga kuman mati. Begitu
juga Povidon Iodin (betadin) yang kadang dicampur dengan larutan alcohol,
biasanya digunakan untuk pembersih kulit sebelum tindakan operasi. Selain itu, alcohol
sering digunakan juga sebagai obat kompres penurun panas atau campuran obat
batuk.
Pada
dasarnya segala bentuk pengobatan dibolehkan, kecuali jika mengandung hal-hal
yang najis yang diharamkan syariah. Untuk obat-obatan yang mengandung alkohol,
selama kandungannya tidak banyak serta tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Adapun dasar dari penetapan hukum ini adalah sebagai berikut :
Pertama, bahwa
yang menjadi ‘illah (alasan)
pengharaman khamr adalah karena memabukkan. Jika faktor ini hilang, haramnya
pun hilang. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
“Hukum itu mengikuti keberadaan “illah
(alasannya). Jika ada ‘illahnya hukum itu ada. Jika ‘illah tidak ada maka
hukumnyapun tidak ada.”
Kedua, senyawa
alkohol dalam obat tersebut sudah hancur menjadi satu dengan materi lain,
sehingga ciri fisiknya menjadi hilang secara nyata. Para ulama menyebutnya
dengan istilah istihlak, yaitu
bercampurnya benda najis atau haram dengan benda lainnya yang suci atau halal
yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman
benda najis tersebut.
Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda :
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka
tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Darutquni, Darimi, Hakim
dan Baihaqi)
Hal
ini sama dengan setetes air kencing yang masuk ke dalam air yang sangat banyak, air itu tetap suci dan
mensucikan selama tidak ada pengaruh dari kencing tersebut.
Ketiga, dalam
satu hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesuatu yang apabila banyaknya
memabukkan, maka meminum sedikit darinya dinilai haram.” (HR.
Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Maksud
dari hadits tersebut adalah apabila sesuatu yang jika diminum dalam jumlah
banyak bisa memabukkan, maka sesuatu tersebut haram walaupun dikonsumsi dalam
jumlah yang sedikit. Seperti Khamr jika diminum dalam jumlah yang banyak akan
memabukkan, maka setetes khamr murni (tanpa campuran) diharamkan untuk diminum,
walaupun jumlahnya sedikit dan tidak
memabukkan.
Lain
halnya dengan air dalam suatu bejana diberi setetes khamr yang tidak
mempengaruhi air tersebut, baik dari segi warna, rasa, maupun sifat, dan dia
tidak memabukkan, maka minum air yang ada campuran setetes khamr itu dibolehkan.
Keempat, bahwa
alkohol tidaklah identik dengan khamr. Tidak setiap khamr itu alkohol, karenan
ada zat-zat lain yang memabukkan selain alkohol. Begitu juga sebaliknya
tidaklah setiap alkohol itu khamr. Menurut sebagian kalangan bahwa jenis alkohol
yang bisa memabukkan adalah jenis etil alkohol atau etanol.
Kelima, menurut
sebagian ulama bahwa khamr tidaklah najis secara lahir, tetapi najis secara
maknawi, artinya bukanlah termasuk benda najis, seperti benda-benda lainnya
secara umum. Sehingga alkohol boleh dipakai untuk pengobatan luar.
Keenam, sutau
minuman atau makanan tersebut dikatakan memabukkan jika memenuhi dua kriteria.
Kriteria pertama adalah makanan atau minuman tersebut menghilangkan atau
menutupi akal. Kriteria kedua yang meminum atau yang memakannya merasakan “nikmat”
ketika mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut, bahkan sangat menikmatinya
serta merasakan senang dan gembira yang tiada taranya. Banyak orang sering
menyebutnya ”fly” , seakan-akan dia
sedang terbang jauh di angkasa luar, makanya kegembiraan akibat mabuk ini tidak
terkontrol. Dan sering kita dapatkan orang yang mabuk, tidak karuan ketika
berbicara, dan dia sendiri tidak menyadari apa yang dia katakana. Hal ini bisa
kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu orang yang sangat gembira,
kadang hilang kontrolnya, sehingga berbicara dengan hal-hal yang mungkin kalau
dia sadar tentu tidak akan mengatakannya.
Adapun
obat bius tidaklah demikian, karena yang memakainya tidaklah menikmatinya dan
tidak merasakan senang dengan obat bius tersebut. Demikian juga obat bius ini
menjadikan orang tidak sadar alias pingsan. Kalau khamr yang memabukkan
tidaklah menjadikannya pingsan tapi justru dia menikmatinya, sehingga
menjadikannya terus menerus ketagihan terhadap minuman tersebut. (Syekh
Utsaimin, Syarhu Bulughul Maram, Kairo, Dar Ibnu al Jauzi, 2008, hlm : 300).
Fenomena
ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah SAW ketika menceritakan sesorang yang
karena terlalu senangnya ketika dia menemukan kuda dan seluruh bekalnya
sehingga dia mengucapkan secara salah :
“Ya Allah Engkau adalah hambaku dan
aku adalah Rabb-Mu.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari
pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa alkohol yang digunakan untuk
obat-obatan yang jika dipakai untuk obat luar, maka hukumnya boleh selama hal
itu membawa manfaat bagi yang berobat, dan menurut sebagian ulama bahwa alkohol
tidaklah najis.
Adapun
jika dipakai untuk obat dalam dan dikonsumsi (dimakan atau diminum), maka
hukumnya dirinci terlebih dahulu : jika obat tersebut diminum dalam jumlah yang
banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram mengkonsumsi obat yang mengandung alkohol
tersebut, tetapi jika tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Walaupun
demikian dianjurkan setiap muslim untuk menghindari obat-obat yang beralkohol,
karena berpengaruh buruk untuk kesehatan. Wallahu A’lam.
(Disadur
dan diolah dari Tulisan Ahmad An Najah,
MA)
Gambar diambil dari http://stat.ks.kidsklik.com/ statics/files/2011/03/ 13007225681839282022_300x311. 72413793103.jpg
Makasi pencerahannya, sekarang jadi tidak ragu-ragu lagi klo minum obat.
BalasHapussama-sama semoga bermanfaat
Hapusterima kasih atas kunjungannya
sama-sama semoga bermanfaat
BalasHapus