Sahabat, yang
kemudian membentuk kata persahabatan merupakan kata yang lazim kita dengar
dalam keseharian. Kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia yang berarti
kawan kental, karib ataupun dekat. Bagitu hits
nya kata ini, grup band terkenal macam Sheila On Seven pernah menukil kata
sahabat dalam singlenya yang
melegenda bertajuk “sahabat Sejati” di akhir era 90an. Lagu ini begitu
fenomenal karena menohok dan menyentuh kalbu para pendengarnya yang rata-rata
berusia remaja.
Kata sahabat
juga digunakan dalam Islam, kita mengenal istilah “Sahabat Rasulullah”.Begitu
pentingnya Sahabat Rasulullah ini, mereka sampai dibagi menjadi beberapa
tingkatan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadits
maupun perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh mereka.
Ngomong-ngomong
soal persahabatan, izinkan saya bercerita tentang sebuah pengalaman menarik bersama
anak-anak Al Gazhi dalam sebuah ekspedisi. Mungkin, apa yang dilakukan Al Ghazi
Adventure kali ini merupakan kegiatan rutin, tapi menurut saya kegiatan ini
bermakna dalam, merupakan bentuk self
assesement, karena persahabatan merupakan kawah candradimuka psikologis,
fase puncak entitas sosial insani yang menimbulkan hubungan erat, rasa
memiliki, rasa sepenanggungan dan rela berkorban.
Ekspedisi ini
bertajuk “Prau Adventure”. Rangkaian
kegiatan yang telah digaungkan sejak 3 bulan lalu begitu menarik dan serasa
menggelitik untuk diikuiti. Sejak masuk angkatan Rabbani di YISC, baru sekali
ini saya dengar ada sebuah mikat (klub, minat dan bakat) yang menaungi para
pecinta alam yang konon katanya dibalut secara “syar’i”. Rasa penasaran saya
membuncah, setelah melihat fliyer
yang di sebar panitia diberbagai media sosial yang ada di civitas Rabbani.
Pendakian masal Prau bakal digelar diawal Desember, sebuah tantangan yang
mengingatkan saya akan masa lalu yang berliku (malah curcol, he4).
Gunung Prahu
(dalam dialeg jawa Prau) ini memang
sayang untuk dilewatkan. Kabar pesona keindahan alamnya begitu menyihir pendaki
pemula macam saya. Puncak memanjang, padang ilalang berhiaskan bunga Daisy dan tentu saja golden sunrise yang disajikan dari
negeri di atas awan, Dieng adalah Surga yang singgah ke bumi. Surga yang dititipkan
Sang Maha Pencipta ke tanah Nusantara, tiada duanya.
Pendaftaran
peserta dibuka diawal Oktober dengan sistem seat
by order, dengan mendaftarkan nama dahulu hingga semua kuota peserta
terpenuhi, dan saya adalah orang yang beruntung masih kebagian kuota satu
tempat, jadideh naik gunung lewati lembah, menyeberang sungai yang mengalir
indah ke samudra, bersama teman berpetualang. He4…
Sebulan
menjelang keberangkatan, mulailah panitia mengumpulkan peserta dan diberikan
pengarahan macam anak ospek. Bahkan urusan jogging
pun dicover. Apa urusanya panitia
turut campur masalah perjogingan peserta? Inilah kawan, saya mendapatkan
pelajaran pertama dari kegiatan ini. Ternyata kesiapan kita secara mental dan
fisik menjadi penentu berhasil tidaknya kegiatan ini. Persiapan mental, kita
dibekali dengan ilmu teoritis mulai dari teknik packing, survival, ilmu
navigasi dan thethekbengek urusan
perlengkapan dibahas secara mendetail. Kemudian fisik, kita diwajibkan minimal 4
kali sebelum keberangkatan melakukan jogging
selama 30-60 menit persesi. Dan untuk memantapkan, kita dibagi menjadi tim-tim
kecil beranggotakan 4-5 orang dan didampingi seorang fasilitator, yang kayaknya
panitia memang memantau kita dengan seksama, salut buat kakak panitia. Ternyata
urusan naik gunung ini ribet, tapi asikin ajalah, bukankah kata pepatah hidup
semakin indah dengan sedikit berarah-darah (lebay).
Tibalah kita di
hari pelaksanaan kegiatan. Jum’at, 4 Desember
tepat pukul 18.00 peserta diwajibkan kumpul di depan loket bus Sinar
Jaya di Kampung Rambutan yang akan mengantar kita menuju Wonosobo. Sore itu
hujan cukup deras mengguyur, ples bertepatan dengan akhir pekan, kebayangkan
macetnya Jakarta apalagi menuju terminal Kampung Rambutan. Praktis jadwal molor
dari rencana semula. Ujian pertama berupa kesabaran telah dimulai. Hingga pukul
20.30 peserta belum lengkap, masih ada yang terjebak macet di jalan. Kawan,
meskipun lama menunggu, tapi kita mahfum bahwa tidak boleh satu orang pun
anggota tertinggal dalam acara ini. Tidak ada keluh kesah dari peserta lain,
dan panitia dengan sabar menunggu hingga semua peserta lengkap. Hem, amazing. Akhirnya, bus berangkat dari
Rambutan pukul 21 teng dan nyampe di terminal Wonosobo pukul 10 keesokan
harinya.
Hari kedua,
merupakan puncak kegiatan ini. Perjalanan sebenarnya baru akan dimulai. Setelah packing ulang dan sarapan, kita langsung
bergerak menuju Base Camp Patak
Banteng dengan minibus. Konon, Patak Banteng ini merupakan jalur yang paling
berat dilalui dibanding jalur lain untuk menuju Gunung Prau. Namun ada
keunggulannya, treknya lebih cepat hanya memerlukan waktu 4 jam untuk mencapai puncak.
Langit cerah
berawan menyambut kedatangan kami di Patak Banteng, rasa-rasanya perjalanan ini
bakal mudah, alam saja mendukung perjalanan kami. Setelah melakukan registrasi
dan thethekbengek urusan administrasi
kita langsung deh jalan menuju puncak Prau. Baru berjalan ratusan meter, kita
langsung disambut oleh trek pendakian yang aduhai, pemandangan indah persawahan
dikiri kanan jalan setapak, menemani perjalanan kami hingga di pos pertama.
Lewat pos
pertama, trek sangat menantang. Medan berbatu, sempit dan licin serta jurang dikiri
kanan jalur membuat perjalanan begitu berbahaya. Jalur yang menanjak 50-60o
memaksa kami menggenjot tenaga supermaksimal, praktis makan siang yang kami
santap beberapa waktu lalu hilang tak berbekas karena hadangan jalur yang
“gila” ini, huft. Banyak peserta yang kelelahan, kehabisan tenaga karena jalur
yang terjal. Ujian berikutnya baru saja dimulai, kegigihan dan pantang menyerah
menjadi cobaan. Ada satu hal menarik, jika kita mau tahu sifat asli seseorang,
ajaklah dia mendaki gunung. Orang yang dalam posisi nyaman tidak akan keluar
sifat aslinya, sedangkan dikondisi ekstrim sifat asli akan keluar. Kita akan
melihat seberapa besar loyalitas sahabat disaat terdesak dan bagaimana mereka
akan berbagi.
Kawan, ternyata
trek yang menyiksa lutut ini tak membuat kita menyerah. Kita saling
menyemangati, kita saling mendukung dan kita rela saling mengulurkan tangan
untuk membantu anggota tim dalam melalui jalur terjal. Dukungan dari kakak
pendamping begitu membakar jiwa kami, ada satu rahasia kecil, kakak-kakak yang
mendampingi kami ini sepertinya memiliki keistimewaan. Mereka tak henti-hentinya
berteriak memberi semangat, ngajakin becanda (kadang ngegombal, he4) sehingga
perjalanan sedikit lebih ringan. Hah..., akhinya jelang magrib kita semua mampu
tuntaskan ujian ketahanan, ujian kebersamaan, daya juang dan hadangan jalur
tiada ampun Gunung Prau. Makasih kakak fasil…
Setelah kelar
mendirikan tenda dan bersih diri, acara dilanjutkan dengan sholat berjamaah
kemudian dilanjutkan makan malam bersama. Menu istimewa dihidangkan malam itu,
sop kentang. Ini sop kentang pertama yang saya makan diatas gunung. Dan
spesialnya lagi, kentangnya terasa berbeda, perfecto,
cok guzel, lezetli, seperti ada manis-manisnya gitu. Halah… (bukan iklan).
Kelar makan
malam acara dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Sambutan seperti di kondangan
saling bergantian, dari ketan Al Ghazi, ketua panitia dan sambutan malam itu diakhiri
oleh pesan dari kak Andi dari Wanadri. Pesan beliau kepada kita nih anak-anak
nubie masalah pergunungan, bahwa belajar dari alam merupakan salah satu metode
untuk mengenal diri kita lebih dalam, mengenal dan menghargai setiap detik dari
hidup kita. Pesan yang superb… kemudian acara malam itu ditutup dengan acara
tukar kado dan tukar pesan dan kesan diantara peserta. Lepas acara semua
berangkat kepulau kapuk demi persiapan berburu sunrise esok hari.
Tepat pukul 4
pagi kami bangun untuk melaksanakan sholat Shubuh berjamaah dilanjut dzikir al
ma’surat pagi, kemudian lanjut menuju spot pemantauan sunrise. Spot banyak
pilihan, karena bentuk puncak Prau yang memanjang, kita bisa pilih mana nih
yang kita suka. Akhirnya tak beberapa lama yang ditunggu datang. Matahari
muncul layaknya bidadari yang bangun dari tidur, merah merona, beralaskan awan
putih dan birunya deretan pegunungan, memanjakan mata barang 15 menit, kemudian
ia kembali bersembunyi, cantik sekali. Inilah kawan yang membuat bangsa barat ngiri sama kita,
natural beauty. Hem, 15 menit yang
berharga. Lanjut dong poto-poto, seperti biasa nih mah. Kelar sunrise kita dihidangkan nasi lauk
rendang yang pokoknya pengin tamboah ciek,
tapi apa daya jatah cuman sepotong.
Kelar sarapan
langsung deh kita operasi semut dan turun kembali menuju base camp Patak Banteng. Perjalanan turun ini juga tak kalah
menantang. Medan terjal kembali menghadang, tapi dengan pengalaman saat
menanjak, perjalanan turun menjadi lebih
enjoy dan santai. Ringan karena tak
perlu menguras energi. Hanya 2 jam kami tembus terjalnya Prau. Perjalanan turun
ini dihiasi hujan, sepertinya Prau tak rela kami pulang segera. Tepat pukul 14,
kami meninggalkan Patak Banteng menuju terminal Wonosobo dan kemudian
dilanjutkan pulang menuju Jakarta. Kembali dengan membawa kenangan baru, membawa
atmosfer baru persahabatan di hati dan rindu tuk bertemu kembali di lain hari,
indah sekali.
Kawan, malam itu
saya belajar banyak hal dari angkatan Al Ghazi ini. Pertama bertemu mereka, saya
langsung merasakan kehangatan, atmosfer kebersamaan yang kental serta tidak ada
batasan sekat. Tidak kentara siapa yang menjabat disini, sampai-sampai saya baru
sadar ternyata ketua angkatan mereka menjadi peserta kegiatan. Persahabatan
mereka telah mendarah daging. Saling goda dan “ngecengin” satu dengan yang
lain, tapi masih dalam batas syar’i meskipun agak absurd. Tiada dendam, tiada
yang merasa terhina, karena sadar mereka adalah saudara. Ukhuwah yang sangat
kurindukan, ukhuwah yang pasti tidak tertukar dengan emas berlian. Seharusnya
memang begini sebuah organisasi dibangun, atas dasar persahabatan. Seperti
larutan glukosa, mereka jernih, tiada layer-layer, sangat homogen namun terasa
manis. Manis yang sejati bukan ilusi ataupun sakarin yang merusak hati, karena
saling mengisi. Inilah proses ujian
persahabatan yang berhasil mereka lewati. Sebuah ujian berat yang pasti akan
lebih mendekatkan. Karena hakikatnya ujian itu menguatkan bukan melemahkan.
Ujian ukhuwah yang menjadi bagian dari keimanan seorang muslim.