25 Juli 2016

GETIR DI SELAT SUNDA

Nikmat Allah SWT atas keindahan dan kesuburan Nusantara merupakan amanah yang harus dijaga demi kemaslahatan rakyat. Sebuah amanah yang berat karena Indonesia memiliki lebih dari 18 ribu pulau yang tersebar dari Sabang Nangroe Aceh Darussalam hingga Merauke di Tanah Papua.
Namun setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa belum sepenuhnya dengan baik menjalankan titah Tuhan. Salah satu potret ketimpangan sosial terjadi di Pulau Sangiang. Pulau ini merupakan salah satu potret diskriminasi yang ada di negeri ini. Tanah yang subur dan perairan yang kaya akan sumberdaya alam nyatanya tidak membuat masyarakatnya makmur namun justru jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Banyak faktor penyebab Sangiang yang dulunya sempat direncanakan sebagai kasino oleh Tomy Suharto ini terpuruk. Faktor utama adalah adanya sengketa antara warga dan pengusaha swasta yang memiliki klaim penggunaan pulau Sangiang dari pemerintah. Pemegang legalitas yaitu pemerintah daerah juga abai, karena merasa warga Sangiang hanyalah pendatang dan tidak memiliki hak atas tanah di pulau ini. Namun mereka telah secara turun temurun menempati wilayah ini sejak zaman penjajahan Belanda, jauh sebelum Proklamasi. Karena bukan dianggap sebagai warga sah maka akses pendidikan dan kesehatan terabaikan. Bayangkan saja, pulau yang dihuni ratusan kepala keluarga ini tak memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak, alhasil jika ingin berobat mereka harus menempuh sekitar 2 jam menuju daratan utama. Diskriminasi di bidang pendidikan juga sangat terasa, bagaimana anak-anak usia sekolah harus merantau meninggalkan rumah demi sekolah. Anak-anak yang seharusnya masih dalam buaian dan pengawasan bunda harus hidup jauh merantau demi mendapat akses pendidikan. Jadi UUD 1945 hanyalah isapan jempol di pulau ini, hanya wacana tanpa realita.
Hal keji dan tak manusiawi juga dilakukan para pengusaha licik di pulau itu. Demi melancarkan aksinya, pulau yang dulunya subur makmur, gemah ripah lohjinawi kini tak lagi bisa diandalkan saebagai mata pencaharian, karena adanya babi hutan liar yang sengaja dilepas oleh pengusa. Dampak nya begitu terasa, tanaman pangan tak lagi bersisa, pertanian hancur lebur karena hama ini memiliki efek destruktif. Babi ini juga mematikan mental warga, karena mereka menyerang dan berbahaya sehingga di malam hari warga jarang keluar rumah.
Keprihatikan dan kepedulian kita sebagai sesama muslim dituntut disini. Saudara kita di Sangiang sangat membutuhkan perhatian. Bukan materi semata, lebih-lebih mereka sangat membutuhkan semangat supaya mereka tidak kehilangan harapan. 
Adapun wawancara dengan penduduk asli Pulau Sangiang bisa di lihat di channel berikut bersama reporter : Mutia Amsuri Nasution






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tinggalkan komentar anda, bila tidak memiliki akun, bisa menggunakan anonim...