28 Desember 2015

Ujian Persahabatan Di Bumi Prau



Sahabat, yang kemudian membentuk kata persahabatan merupakan kata yang lazim kita dengar dalam keseharian. Kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia yang berarti kawan kental, karib ataupun dekat. Bagitu hits nya kata ini, grup band terkenal macam Sheila On Seven pernah menukil kata sahabat dalam singlenya yang melegenda bertajuk “sahabat Sejati” di akhir era 90an. Lagu ini begitu fenomenal karena menohok dan menyentuh kalbu para pendengarnya yang rata-rata berusia remaja.
Kata sahabat juga digunakan dalam Islam, kita mengenal istilah “Sahabat Rasulullah”.Begitu pentingnya Sahabat Rasulullah ini, mereka sampai dibagi menjadi beberapa tingkatan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadits maupun perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh mereka.


Ngomong-ngomong soal persahabatan, izinkan saya bercerita tentang sebuah pengalaman menarik bersama anak-anak Al Gazhi dalam sebuah ekspedisi. Mungkin, apa yang dilakukan Al Ghazi Adventure kali ini merupakan kegiatan rutin, tapi menurut saya kegiatan ini bermakna dalam, merupakan bentuk self assesement, karena persahabatan merupakan kawah candradimuka psikologis, fase puncak entitas sosial insani yang menimbulkan hubungan erat, rasa memiliki, rasa sepenanggungan dan rela berkorban.
Ekspedisi ini bertajuk “Prau Adventure”. Rangkaian kegiatan yang telah digaungkan sejak 3 bulan lalu begitu menarik dan serasa menggelitik untuk diikuiti. Sejak masuk angkatan Rabbani di YISC, baru sekali ini saya dengar ada sebuah mikat (klub, minat dan bakat) yang menaungi para pecinta alam yang konon katanya dibalut secara “syar’i”. Rasa penasaran saya membuncah, setelah melihat fliyer yang di sebar panitia diberbagai media sosial yang ada di civitas Rabbani. Pendakian masal Prau bakal digelar diawal Desember, sebuah tantangan yang mengingatkan saya akan masa lalu yang berliku (malah curcol, he4).
Gunung Prahu (dalam dialeg jawa Prau) ini memang sayang untuk dilewatkan. Kabar pesona keindahan alamnya begitu menyihir pendaki pemula macam saya. Puncak memanjang, padang ilalang berhiaskan bunga Daisy dan tentu saja golden sunrise yang disajikan dari negeri di atas awan, Dieng adalah Surga yang singgah ke bumi. Surga yang dititipkan Sang Maha Pencipta ke tanah Nusantara, tiada duanya.
Pendaftaran peserta dibuka diawal Oktober dengan sistem seat by order, dengan mendaftarkan nama dahulu hingga semua kuota peserta terpenuhi, dan saya adalah orang yang beruntung masih kebagian kuota satu tempat, jadideh naik gunung lewati lembah, menyeberang sungai yang mengalir indah ke samudra, bersama teman berpetualang. He4…
Sebulan menjelang keberangkatan, mulailah panitia mengumpulkan peserta dan diberikan pengarahan macam anak ospek. Bahkan urusan jogging pun dicover. Apa urusanya panitia turut campur masalah perjogingan peserta? Inilah kawan, saya mendapatkan pelajaran pertama dari kegiatan ini. Ternyata kesiapan kita secara mental dan fisik menjadi penentu berhasil tidaknya kegiatan ini. Persiapan mental, kita dibekali dengan ilmu teoritis mulai dari teknik packing, survival, ilmu navigasi dan thethekbengek urusan perlengkapan dibahas secara mendetail. Kemudian fisik, kita diwajibkan minimal 4 kali sebelum keberangkatan melakukan jogging selama 30-60 menit persesi. Dan untuk memantapkan, kita dibagi menjadi tim-tim kecil beranggotakan 4-5 orang dan didampingi seorang fasilitator, yang kayaknya panitia memang memantau kita dengan seksama, salut buat kakak panitia. Ternyata urusan naik gunung ini ribet, tapi asikin ajalah, bukankah kata pepatah hidup semakin indah dengan sedikit berarah-darah (lebay).
Tibalah kita di hari pelaksanaan kegiatan. Jum’at, 4 Desember  tepat pukul 18.00 peserta diwajibkan kumpul di depan loket bus Sinar Jaya di Kampung Rambutan yang akan mengantar kita menuju Wonosobo. Sore itu hujan cukup deras mengguyur, ples bertepatan dengan akhir pekan, kebayangkan macetnya Jakarta apalagi menuju terminal Kampung Rambutan. Praktis jadwal molor dari rencana semula. Ujian pertama berupa kesabaran telah dimulai. Hingga pukul 20.30 peserta belum lengkap, masih ada yang terjebak macet di jalan. Kawan, meskipun lama menunggu, tapi kita mahfum bahwa tidak boleh satu orang pun anggota tertinggal dalam acara ini. Tidak ada keluh kesah dari peserta lain, dan panitia dengan sabar menunggu hingga semua peserta lengkap. Hem, amazing. Akhirnya, bus berangkat dari Rambutan pukul 21 teng dan nyampe di terminal Wonosobo pukul 10 keesokan harinya.
Hari kedua, merupakan puncak kegiatan ini. Perjalanan sebenarnya baru akan dimulai. Setelah packing ulang dan sarapan, kita langsung bergerak menuju Base Camp Patak Banteng dengan minibus. Konon, Patak Banteng ini merupakan jalur yang paling berat dilalui dibanding jalur lain untuk menuju Gunung Prau. Namun ada keunggulannya, treknya lebih cepat hanya memerlukan waktu 4 jam untuk mencapai puncak.
Langit cerah berawan menyambut kedatangan kami di Patak Banteng, rasa-rasanya perjalanan ini bakal mudah, alam saja mendukung perjalanan kami. Setelah melakukan registrasi dan thethekbengek urusan administrasi kita langsung deh jalan menuju puncak Prau. Baru berjalan ratusan meter, kita langsung disambut oleh trek pendakian yang aduhai, pemandangan indah persawahan dikiri kanan jalan setapak, menemani perjalanan kami hingga di pos pertama.
Lewat pos pertama, trek sangat menantang. Medan berbatu, sempit dan licin serta jurang dikiri kanan jalur membuat perjalanan begitu berbahaya. Jalur yang menanjak 50-60o memaksa kami menggenjot tenaga supermaksimal, praktis makan siang yang kami santap beberapa waktu lalu hilang tak berbekas karena hadangan jalur yang “gila” ini, huft. Banyak peserta yang kelelahan, kehabisan tenaga karena jalur yang terjal. Ujian berikutnya baru saja dimulai, kegigihan dan pantang menyerah menjadi cobaan. Ada satu hal menarik, jika kita mau tahu sifat asli seseorang, ajaklah dia mendaki gunung. Orang yang dalam posisi nyaman tidak akan keluar sifat aslinya, sedangkan dikondisi ekstrim sifat asli akan keluar. Kita akan melihat seberapa besar loyalitas sahabat disaat terdesak dan bagaimana mereka akan berbagi.
Kawan, ternyata trek yang menyiksa lutut ini tak membuat kita menyerah. Kita saling menyemangati, kita saling mendukung dan kita rela saling mengulurkan tangan untuk membantu anggota tim dalam melalui jalur terjal. Dukungan dari kakak pendamping begitu membakar jiwa kami, ada satu rahasia kecil, kakak-kakak yang mendampingi kami ini sepertinya memiliki keistimewaan. Mereka tak henti-hentinya berteriak memberi semangat, ngajakin becanda (kadang ngegombal, he4) sehingga perjalanan sedikit lebih ringan. Hah..., akhinya jelang magrib kita semua mampu tuntaskan ujian ketahanan, ujian kebersamaan, daya juang dan hadangan jalur tiada ampun Gunung Prau. Makasih kakak fasil…
Setelah kelar mendirikan tenda dan bersih diri, acara dilanjutkan dengan sholat berjamaah kemudian dilanjutkan makan malam bersama. Menu istimewa dihidangkan malam itu, sop kentang. Ini sop kentang pertama yang saya makan diatas gunung. Dan spesialnya lagi, kentangnya terasa berbeda, perfecto, cok guzel, lezetli, seperti ada manis-manisnya gitu. Halah… (bukan iklan).
Kelar makan malam acara dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Sambutan seperti di kondangan saling bergantian, dari ketan Al Ghazi, ketua panitia dan sambutan malam itu diakhiri oleh pesan dari kak Andi dari Wanadri. Pesan beliau kepada kita nih anak-anak nubie masalah pergunungan, bahwa belajar dari alam merupakan salah satu metode untuk mengenal diri kita lebih dalam, mengenal dan menghargai setiap detik dari hidup kita. Pesan yang superb… kemudian acara malam itu ditutup dengan acara tukar kado dan tukar pesan dan kesan diantara peserta. Lepas acara semua berangkat kepulau kapuk demi persiapan berburu sunrise esok hari.
Tepat pukul 4 pagi kami bangun untuk melaksanakan sholat Shubuh berjamaah dilanjut dzikir al ma’surat pagi, kemudian lanjut menuju spot pemantauan sunrise. Spot banyak pilihan, karena bentuk puncak Prau yang memanjang, kita bisa pilih mana nih yang kita suka. Akhirnya tak beberapa lama yang ditunggu datang. Matahari muncul layaknya bidadari yang bangun dari tidur, merah merona, beralaskan awan putih dan birunya deretan pegunungan, memanjakan mata barang 15 menit, kemudian ia kembali bersembunyi, cantik sekali. Inilah kawan yang membuat bangsa barat ngiri sama kita, natural beauty. Hem, 15 menit yang berharga. Lanjut dong poto-poto, seperti biasa nih mah. Kelar sunrise kita dihidangkan nasi lauk rendang yang pokoknya pengin tamboah ciek, tapi apa daya jatah cuman sepotong.
Kelar sarapan langsung deh kita operasi semut dan turun kembali menuju base camp Patak Banteng. Perjalanan turun ini juga tak kalah menantang. Medan terjal kembali menghadang, tapi dengan pengalaman saat menanjak,  perjalanan turun menjadi lebih enjoy dan santai. Ringan karena tak perlu menguras energi. Hanya 2 jam kami tembus terjalnya Prau. Perjalanan turun ini dihiasi hujan, sepertinya Prau tak rela kami pulang segera. Tepat pukul 14, kami meninggalkan Patak Banteng menuju terminal Wonosobo dan kemudian dilanjutkan pulang menuju Jakarta. Kembali dengan membawa kenangan baru, membawa atmosfer baru persahabatan di hati dan rindu tuk bertemu kembali di lain hari, indah sekali.
Kawan, malam itu saya belajar banyak hal dari angkatan Al Ghazi ini. Pertama bertemu mereka, saya langsung merasakan kehangatan, atmosfer kebersamaan yang kental serta tidak ada batasan sekat. Tidak kentara siapa yang menjabat disini, sampai-sampai saya baru sadar ternyata ketua angkatan mereka menjadi peserta kegiatan. Persahabatan mereka telah mendarah daging. Saling goda dan “ngecengin” satu dengan yang lain, tapi masih dalam batas syar’i meskipun agak absurd. Tiada dendam, tiada yang merasa terhina, karena sadar mereka adalah saudara. Ukhuwah yang sangat kurindukan, ukhuwah yang pasti tidak tertukar dengan emas berlian. Seharusnya memang begini sebuah organisasi dibangun, atas dasar persahabatan. Seperti larutan glukosa, mereka jernih, tiada layer-layer, sangat homogen namun terasa manis. Manis yang sejati bukan ilusi ataupun sakarin yang merusak hati, karena saling mengisi. Inilah proses ujian persahabatan yang berhasil mereka lewati. Sebuah ujian berat yang pasti akan lebih mendekatkan. Karena hakikatnya ujian itu menguatkan bukan melemahkan. Ujian ukhuwah yang menjadi bagian dari keimanan seorang muslim.

18 Desember 2015

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra

Bicara kisah cinta dan romansa, maka kita akan terbersit cerita Romeo dan Juliet karya fiktif dari seniman terkenal Inggris, William Shakespear. Iya kisah fiktif, karena cerita itu di buat ketika William sedang berkunjung ke Verona, Italia dan dia mendapat inspirasi tentang cerita itu kemudian menulisnya disebuah kamar di hotel di jalanan kota Verona, yang sampai sekarang diabadikan di Italia.
Ternyata dalam dunia Islam, ada cerita yang nyata. Cerita yang pasti menyihir banyak hati karena cinta itu terbungkus ketaatan, manis kawan, indah sekali. Saking indahnya, setiap kali saya merasa galau, saya selalu kembali mengingat cerita ini dan semangat saya kembali bangkit. Dan saya hari ini akan berbagi kepada kalian semua. Semoga anda menikmati dan akhirnya terinspirasi.



Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
 Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian,
atau pengorbanan

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar.”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan

Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.“
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
 Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”, ini merupakan sisi romantis dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” 


Daftar Pustaka :
Redaksi – Selasa, 16 Muharram 1435 H / 19 November 2013 10:18 WIB
Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4
http://arhamvhy.blogspot.co.id/2012/03/10-kisah-cinta-paling-indah-dalam-islam.html

9 Desember 2015

First Semester Final Test Preparation of Chemistry Subject

Hello my lovely students, here I'm sending preparation test packets for you all guys...
thank you for your attentions..., you can dowload it...
don't forget to study and leave a comment here.. :-)